“Kalau ke Probolinggo, harus mencoba Rawon Nguling”. Begitulah adagium tak tertulis jika Anda berkunjung ke Probolinggo. Rawon Nguling berlokasi di sisi utara jalur Pantura Surabaya-Banyuwangi, tepatnya di nomor 75 Desa Tambak Rejo, Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolingggo. Apabila Anda melalui darat di jalur utara pasti melewati warung rawon legendaris ini.
Laporan: Sundari Adi Wardhana, Probolinggo.
BEGITU masuk warung, foto-foto Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang pernah makan di tempat tersebut, jadi pajangan utama di hiasan temboknya. Meja kayu dan kursinya diatur model memanjang. Sehingga dua ratusan orang bisa makan bersama di warung ini secara bersamaan. Bangunan warung Rawon Nguling cukup besar dengan lahan parkir yang jarang sepi dan ada musala serta toilet.
Oleh pramusaji, kita akan ditawari daftar menu bermacam-macam masakan Jawa Timur. Seperti nasi soto, nasi sop, nasi gulai, nasi lodeh, bahkan krengsengan. Tetapi, tetap saja makanan yang paling banyak dipilih pengunjung adalah nasi rawon, kuliner andalannya.
Sesuai dengan nama warungnya tetap “Warung Rawon Nguling” meskipun menunya beragam. Di meja juga disediakan gorengan lauk pauk tambahan. Mulai dari gorengan empal daging, otak, limpa, tahu, tempe, dan sate komo.
Rawon Nguling terhidang dicampur nasi dan irisan daging sapi dengan sambel terasi dan taoge pendek sebagai pelengkap. Kuah rawonnya agak encer kecokelatan karena ada bumbu kluwek, bumbu khusus untuk campuran rawon. Terasa segar dimakan panas-panas dan daging sapinyanya sangat empuk. “Suka, enak, cenderung manis dibanding rawon lainnya, tapi rasanya pas. Porsinya cukup banyak,” tutur Obheta Aprilia, pecinta kuliner rawon.
Menurut Janur Daniel, penyuka rawon asal Surabaya, ia kerap mampir ke Rawon Nguling setiap lewat di Probolinggo. Entah sedang urusan bisnis atau lagi liburan di Bromo. “Rawon Nguling ini, punya ciri khas agak manis, berbeda dengan rawon lainnya di Jawa Timur yang cenderung asin. Terus enaknya lagi, dagingnya benar-benar empuk,” ungkap pria bermata sipit ini.
Warung Rawon Nguling sendiri, sudah berdiri sejak 1942 oleh pasangan Karyo Direjo – Marni. Dalam sehari sekitar 400 kilogram daging sapi lokal habis dikonsumsi. Untuk meracik rawon dituntut ketepatan tinggi guna menyeimbangkan bumbu-bumbu, seperti: kluwek, kemiri, daun jeruk, daun salam, sereh, dan bawang merah.
Oleh karenanya “Not all Rawon are created equal”. Tak ada rawon yang rasanya sama. Semua memiliki rasa khas masing-masing.
“Salah satu rahasia kami adalah pada racikan bumbunya. Tidak berubah sama sekali dari yang diresepkan oleh orangtua kami. Baik itu takaran atau komposisinya. Pemilihan kluwek, daging sapi lokal, dan cara masaknya juga sangat kami perhatikan. Dan yang pasti kami memasak rawon itu di atas tungku kayu bakar sekitar 5 jam. Bukan di atas kompor minyak atau elpiji. Dulu sempat mencoba pakai kompor, tapi citarasanya berubah,” ungkap Rofiq Ali Pribadi, pemilik Warung Rawon Nguling.
Rawon Nguling kini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia. Penetapannya dilakukan oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia, di Hotel Millenium Sirih Jakarta pada Jumat (3/8/2018) lalu. (*)