“Sampean iso mangan, aku yo iso mangan, tapi caraku golek mangane seng bedo”
Oleh Dendy A
MUNGKIN semua pernah mendengar istilah difabel atau penyandang disabilitas. Dua istilah tersebut adalah sebuah pengganti istilah lama terhadap penyandang cacat.
Orang-orang berbodong-bodong, eh salah, maksud saya “berbondong-bondong” membicarakan terminologi tersebut.
“Sudah kayak pemilu presiden, orang-orang pada debatin perkara ini”
Bahkan, perdebatan itu juga berlangsung di kehidupan para penyandang disabilitas atau difabel. MANTAP KAN…..!!!!!
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menyatakan, bahwa penyandang disabilitas sebagai terminologi yang “compatibel” dengan arus pembangunan bagi difabel atau disabilitas. Maka, sebagai penyandang disabilitas kita harus mengawal undang-undang tersebut, dengan cara menyebarluaskan terminologi yang sudah tertuang dalam undang-undang.
Namun, di sisi lain, sebagian para difabel mengklaim bahwa kata ”disabilitas” diartikan sebagai “tidak berkemampuan (DIS-ABILITY)”, sedangkan ”difabel” atau “difable” merupakan akronim dari “diferent ability”, yang jika diterjemahkan dalam bahasa jawa.
“Sampean iso mangan, aku yo iso mangan, tapi caraku golek mangane seng bedo”
Sepertinya itu bukan terjemahan, tapi biarkan saja, yang penting, kurang lebih analoginya demikian.
Sebenarnya, kata disabilitas diambil dari Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang sudah Indonesia ratifikasi melalui Undang-Undang nomor 19 tahun 2011 tentang ratifikasi CRPD, dan selanjutnya ditranformasi ke dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
CRPD memberikan suatu gambaran umum tentang pengertian penyandang disabilitas atau yang lebih familiar disebut dalam konvensi tersebut orang dengan disabilitas. Pada intinya, disabilitas yang dimaksud terjadi karena lingkungan sekitar, misal tidak adanya bidang miring bagi pengguna kursi roda, sehingga orang dengan kursi roda terhambat menuju tempat yang dituju. Sekalinya ada bidang miring di suatu tempat, malah uda mirip sama seluncur di water park. Hal itu terjadi, karena kurang pahamnya stake holder terhadap kebutuhan para disabilitas.
Nah, sekarang mari tengok, orang-orang yang lebih suka menggunakan istilah difabel. Berbeda dengan disabilitas yang terbentuk akibat faktor eksternal. Difabel lebih mengacu pada individu orang tersebut. Bisa dilihat dari akronimnya saja “different abilities people” atau orang dengan berbeda kemampuan, dapat disimpulkan bahwa difabel pada hakekatnya adalah manusia, tapi memiliki kemampuan yang berbeda.
Jika kalian berpikir bahwa difabel adalah X-Men.
Jelas, kalian salah….
Berbeda kemampuan yang dimaksud adalah suatu keadaan terbatas yang terakomodasi, sehingga para difabel dapat melakukan kegiatan agar dapat berpartisipasi dalam masyarakat. Misal, tentu saudara-saudara sekalian tidak akan bisa berjalan, makan, minum, mandi, ngerjain skripsi, ngerjain orang, dan mengirim email sambil merem kan? Namun, hal tersebut mudah dilakukan oleh difabel penglihatan atau tunanetra. Hal itu didukung oleh kemampuan tunanetra dalam berkosentrasi.
Oh iya… bagaimana difabel penglihatan dapat main laptop atau ngerjain skripsi, bahkan dapat nulis artikel ini. Tentu saya tidak akan membahasnya sekarang. Nanti saja kalau saya ingin nulis lagi.
Oke…!!!
Penyandang disabilitas atau difabel, pada dasarnya adalah manusia. Terserah saudara-saudara sekalian ingin menggunakan istilah yang mana untuk mengidentifikasi mereka, yang terpenting hak-hak mereka dapat terpenuhi.