Kue Satru atau kue koya adalah kue kering tradisional populer, terbuat dari bubuk kacang hijau manis berwarna putih yang hancur saat digigit. Kue tradisional ini, banyak diusahakan oleh warga Desa Randu Jalak, Kecamatan Besuk, Probolinggo. Sayang meski sudah merambah luar Jawa, kue Satru Randu Jalak belum mampu menembus pasar modern.
Sundari Adi Wardhana, Probolinggo
KUE satru ini, diusahakan warga Desa Randu Jalak, tersebar di 4 dusun, yaitu Dusun Krajan, Kosambi, Giran dan Gardu. Produksi paling ramai adalah saat menjelang Ramadan dan lebaran. Mereka memproduksi dan menjual produknya sebagai kue lebaran. Dalam periode itu, setiap orang bisa menjual antara 5 kuintal hingga 1 ton kue satru.
Harga jualnya bervariasi, untuk kue satru ukuran kecil dijual Rp60 ribu per kg. Sedangkan kue dengan ukuran besar dijual Rp40 ribu per kg. “Beratnya sama, tapi cara buatnya lebih lama yang ukuran kecil,” kata Suhaimah (48).
Berdasarkan asumsi harga jual di atas, maka setiap orang bisa mendapat penghasilan kotor antara Rp30 juta hingga Rp60 juta. Dengan jumlah pembuat kue mencapai 700 orang, maka perputaran uang sebesar Rp21 miliar hingga Rp42 miliar selama Ramadan dan lebaran. “Kalau penjualannya tidak repot, karena sudah punya pelanggan. Biasanya mereka datang sendiri ke sini,” tutur ibu 3 anak itu.
Kepala Desa Randu Jalak, Anis Nurhainis mengatakan, sejak puluhan tahun lalu, kue satru produksi warga desanya laku di pasar tradisonal. Tak hanya pasar lokal, pangsa pasarnya bahkan sudah ke luar Jawa. Sayangnya, produk kue kering ini tak mampu membus toko atau ritel modern.
“Dari beberapa ritel atau swalayan di Probolinggo yang kami kunjungi, tak ada satu pun produk dari desa kami. Yang ada adalah kue satru dari luar daerah, yang kualitas dan rasanya dibawah produk desa kami,” ucapnya prihatin.
Kendalanya adalah kemasan yang belum sesuai standar ritel atau swalayan. Serta belum dilengkapi dengan ijin Produksi Industri Rumah Tangga pangan (PIRT). Dari 700-an pengusaha, baru 3 orang yang mempunyai PIRT dari Dinkes, yakni Suhaimi, Nusun, dan Suyama. “Banyak dari mereka yang tidak mempunyai ijin industri rumahan,” katanya.
Sehingga untuk dapat menembus pasar modern, Pemerintah Desa (Pemdes) dengan kantor Kecamatan dan Dinas terkait, terus bahu membahu memberikan pendampingan. Misalnya dengan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kraksaan untuk pelatihan variasi bentuk dan pewarnaan kue. Selama ini bentuk kue dan warnanya monoton.
Kemudian menggandeng Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) untuk pengetahuan tentang kemasan, serta teknik promosi.
Sementara Dinas Kesehatan (Dinkes) juga diajak bersama, supaya warga mendapat pengetahuan terkait higienitas. Tujuannya, pembuat kue satru juga segera mendapatkan ijin PIRT dari Dinkes. “Harapannya, produk kami semakin bervariasi, baik dari segi tampilan warna, rasa dan bentuk. Serta bisa masuk ritel atau pasar modern,” ujar Kades Anis.
Rencananya, pasca pelatihan-pelatihan itu, pembuat kue satru disatukan dalam sebuah manajemen BUMDes Pelita. Agar manajemennya kuat dan tidak individual pemasarannya. Hal utama, mereka tidak lagi tergantung pada musim Lebaran untuk memproduksi kue. Begitu juga dengan stok bahan baku kacang hijaunya. “BUMDes tidak akan menghilangkan merek atau nama pembuatnya. Sebab, ada di antara mereka yang sudah punya pelanggan fanatik,” ungkap istri Khairul Anam Hamadah ini. (*)