Perkembangan teknologi membawa banyak perubahan pada industri jasa keuangan. Financial technology alias fintech banyak bermunculan. Sayangnya, sebagian besar justru abal-abal. Edukasi keuangan yang cukup diperlukan agar konsumen terlindungi.
Laporan Mochammad Asad
BANYAKNYA pengguna internet di Indonesia membuka peluang terhadap potensi bisnis berbasis digital. Industri jasa keuangan digital termasuk didalamnya. Selama beberapa tahun terakhir, industri keuangan berbasis teknologi informasi (fintech) ini bahkan tumbuh pesat.
Salah satu jenis fintech yang cukup massif perkembangannya adalah peer to peer lending (p2p). Fintech jenis ini memiliki fokus kegiatan pada kegiatan pinjam memimjam, laiknya Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Bedanya dengan BPR, proses transaksi dilakukan secara konvensional. Terjadi tatap muka antara debitur (peminjam) dan kreditur (pemberi pinjaman). Tetapi, pada fintech, proses transaksi dilakukan melalui pemanfatan teknologi digital. Mengakses layanan via internet atau aplikasi, lalu beres.
Kemudahan bertransaksi itu pula yang membuat bisnis fintech tumbuh tinggi.
Dilansir dari data Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), saat awal pertama muncul, aksebilitas pengguna internet terhadap layanan ini hanya 7 persen (2006). Tetapi, tahun lalu, tumbuh pesat hingga 78 persen.
Setali tiga uang, tingginya aksebilitas masyarakat terhadap layanan ini pun ditangkap dengan baik oleh pelaku industri ini. Data OJK terbaru yang dirilis Oktober 2018 lalu, terdapat 73 penyelenggara fintech yang saat ini terdaftar di OJK. Meningkat 8 entitas dari bulan sebelumnya yang hanya tercatat 65 fintech terdaftar.
Menariknya, meski terjadi peningkatan cukup pesat, angka fintech yang terdaftar itu jauh lebih sedikit dibanding jumlah fintech yang belum terfaftar alias abal-abal. Hasil penelusuran Tim Satgas Waspada Investasi OJK pada September lalu setidaknya menemukan 227 fintech abal-abal karena belum terdaftar di OJK.
Dengan temuan sebelumnya 182 entitas, itu berarti terdapat 407 fintech yang masuk kategori abal-abal ini. “Kami melakukan penelusuran terhadap website dan juga aplikasi di google playstore. Hasilnya, ada 182 entitas usaha yang melakukan kegitan penyelenggara layanan pinjam meminjam berbasis technologi informasi (fintech peer to peer lending) tanpa izin. Dan ini berpotensi merugikan masyarakat,” kata Ketua Satgas Waspada Investasi, Tonggan Lumban Tobing dalam pengumumannya, seperti dikutip dari website OJK.
Penjelasan yang sama disampaikan Kepala OJK Wilayah Malang, Widodo. Dikatakanya, banyaknya fintech ilegal atau abal-abal itu seolah menjadi jebakan bagi konsumen. Sebab, mereka yang kesulitan mengakses pinjaman di penyedia jasa pinjaman konvensional, akan tergiur untuk beralih ke fintech.
Karena itu, demi menghindari hal yang tidak diinginkan, konsumen diharapkan lebih jeli dan meneliti keabsahan fintech bersangkutan, sebelum mengajukan pinjaman. “Paling tidak, cek kejelasan kantornya. Periksa di website OJK, apakah fintech bersangkutan sudah terdaftar atau tidak,” jelas Widodo melalui sambungan seluler.
Dikatakan Widodo, OJK sangat mendorong keberadaan fintech ini sebagai platform alternatif industri keuangan. Sebab, kehadiran fintech dinilai mampu meningkatkan akses pendanaan bagi kalangan UMKM dan juga masyarakat lain yang selama ini memiliki kendala dalam mengakses pembiayaan di sektor jasa keuangan konvensional.
Tetapi, lebih dari itu, mitigasi terhadap risiko juga mutlak diperlukan. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan edukasi atau literasi keuangan. Dengan begitu, masyarakat tidak mudah terbujuk dengan tawaran-tawaran fintech abal-abal yang sudah pasti menggiurkan.