Hari Kemerdekaan RI ke 73 menjadi moment, bagi para mantan kombatan dan narapidana terorisme, untuk berkumpul di Alun-alun Lamongan. WartaBromo, berkesempatan ngobrol bareng dengan mereka. Soal sepak terjangnya di masa lalu, ke-Indonesia-an, juga pesan-pesan kepada kawan-kawan mereka, yang masih berkutat dengan radikalisme.
Laporan: M. Asad
EMOSI Ali Fauzi akhirnya tak terbendung. Ia tak kuasa menahan haru tatkala para mantan kombatan dan eks narapidana terorisme itu meneriakkan yel-yel ‘Damai Indonesia’ di hadapan undangan.
Sejurus kemudian, Ali berjalan menghampiri. Selembar kertas yang berisi butir-butir ikrar kesetiaan pada NKRI, ia serahkan kepada Yusuf Anis untuk dibacakan.
“Saya bangga, saya bahagia. Saya benar-benar terharu. Pak Yusuf, beliau itu guru saya. Gurunya Doktor Azhari, gurunya Nurdin M. Top. Dan mereka yang di barisan, sebagian juga pernah menjadi anak buah saya. Tapi, ikrar ini menjadi afirmasi, bahwa mereka telah kembali ke NKRI. Saya sangat terharu,” ujar Ali Fauzi yang ditemui seusai upacara.
Ya, peringatan hari kemerdekaan Jumat (17/8/2018) lalu, menjadi momentum paling mengharukan bagi Ali Fauzi. Sebagai mantan kombatan yang malang melintang di kamp-kamp militer, hampir tidak pernah ada yang membuatnya berlinang air mata. Tetapi, itu justru terjadi saat perayaan kemerdekaan Indonesia ke-73 di alun-alun Lamongan.
“Sudah banyak pertempuran yang pernah saya ikuti. Tidak pernah saya menangis. Baru kali ini saya menangis,” terang Ali Fauzi.
Keharuan itu semakin ia rasakan tatkala Yusuf Anis, yang pernah menjadi mentornya, dengan lantang memimpin peleton eks kombatan untuk berikrar setia pada NKRI.
Soal siapa sebenarnya Yusuf Anis ini, WartaBromo sempat mendapat sedikit data, yang mengulas sosok lelaki asli Lamongan itu. Di kalangan para jihadis, Yusuf juga dikenal dengan nama samaran Haris alias Abu Hilal alias Abu Musa. Dari tangannya, lahir sejumlah nama yang sempat menjadi buron pelaku teror nomor wahid negeri ini. Seperti Nordin M. Top, Doktor Azhari, hingga Umar Patek.
Lahir di Lamongan, Yusuf melewatkan masa kecilnya di Kota Soto ini. Selepas lulus SMA, ia kemudian melanjutkan studi ke salah satu perguruan tinggi ternama di Malang, tepatnya di Fakultas Ekonomi dan lulus 1988 silam. Di sana pula Yusuf mulai banyak bersentuhan gerakan radikalisme.
Selesai kuliah, ia lantas bergabung ke Akademi Militer Mujahidin di Afganistan. Di sini, Yunus lulus tahun 1991 dengan pangkat Dowom Brigmen atau Letnan Dua. Sebagai mantan kombatan, Yunus pernah mengikuti sejumlah pelatihan. Diantaranya, pelatihan Daurah Dababah, sebuah pelatihan untuk mengoperasikan tank Rusia 154.
Selain itu, ia juga pernah mengiktui pelatihan Daurah Field Engineering atau perakitan bom bersama jamaah Al-qaeda. Lalu, pelatihan intellegence surveillance, pelatihan kepemimpinan, serta pelatihan pengoperasian senjata anti pesawat yang semuanya dijalani bersama Jamaah Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.
Pada 1993, Yusuf lantas bergabung dengan gerakan DI-NII. Sebelum akhirnya bergabung dengan Jamaah Islamiyah pada 2001. Di organisasi ini, sejumlah posisi penting sempat dijabatnya. Diantaranya, sebagai Ketua I Bagian Askari Mantiki 1 JI Malaysia, Singapura. Bahkan, ia pula yang merintis Jamaah Islamiyah di Australia. Tugasnya sebagai senior instructur di camp militer di Afganistan dan Mindanao selama 10 tahun (1991-2001), seolah kian melengkapi kemampuannya di bidang olah kemiliteran.
Nah, pada Jumat (17/8/2018), Yusuf didapuk untuk memimpin pembacaan ikrar kesetiaan NKRI bersama mantan para kombatan dan napi teroris. Selama sepekan belajar, tugas itu pun berhasil ia tuntaskan dengan baik. Jadilah suasana alun-alun yang semula terasa begitu formal, mendadak mengharu biru. Eks kombatan dan napi teroris itu saling bersalaman dan berangkulan.