Oleh: VITA SUCI RAHAYU, S.Sos *)
BARU-BARU ini Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) Kota Pasuruan mengklaim, Kota Pasuruan terbebas dari money politic saat pelaksanaan Pilgub 2018. Pernyataan tersebut diungkapkan dalam Rapat Koordinasi yang diadakan oleh Bawaslu di sebuah rumah makan di Pasuruan pada 29 Juli 2018.
Argumentasinya, bahwa tidak ada laporan dari masyarakat tentang praktek politik uang, yang diajukan kepada Bawaslu. Tentunya, pernyataan tersebut merupakan kabar gembira bagi para penyelenggara pemilu maupun Tim Pasangan Calon yang ada di Kota Pasuruan.
Namun, untuk Pemilihan Legislatif yang akan berlangsung pada 17 April 2019 mendatang, tetap menjadi tantangan yang berat untuk penegakan demokrasi yang bersih dan bermartabat.
Kenapa? Karena para peserta pemilu ada di samping kanan dan kiri masyarakat, yang notabene sama-sama berebut suara. Memerangi money politic tentu tidak bisa hanya menunggu laporan masyarakat yang masuk, melainkan perlu komitmen yang serius dari semua pihak baik penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan pemilih. Ketiga komponen ini harus bersama-sama mendirikan konsensus, untuk memerangi money politic.
Upaya ini harus difasilitasi oleh penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu melalui proses yang berkesinambungan untuk menegakkan demokrasi yang bersih dan bermartabat.
Masyarakat harus sadar, bahwa rakyatlah yang harus membayar mahal jika money politic masih merajalela. Sebagai pengawas pemilu, Bawaslu juga harus mencermati besaran dana kampanye dan sumber pendanaannya. Money politic tentu membutuhkan sumber dana besar, yang tidak bisa ditopang oleh sumber dana kampanye yang akuntabel. Oleh karena itu, Bawaslu tidak boleh sendirian, melainkan harus menggandeng berbagi pihak untuk memeriksa siklus penganggaran menjelang masa kampanye.
Upaya sosialisasi ini juga penting digerakkan di kalangan masyarakat hingga tingkat yang paling bawah, bahwa para calon yang melakukan money politic akan membayar mahal (baca: menarik modal), ketika mereka menjabat. Hal ini tentu bisa mengurangi hak-hak yang semestinya diterima oleh rakyat.
Aparat penegak hukum juga harus memberi jaminan, bahwa tidak ada pencucian uang yang dilakukan secara sistematis menjelang pelaksanaan kampanye untuk memenangkan pihak tertentu. Sebaliknya bagi peserta pemilu, keseriusan untuk tidak menggunakan money politic, juga harus didukung dengan adanya kesepakatan bersama yang tertulis untuk melaksanakan pemilu yang berintegritas.
Bagi peserta pemilu, money politic merupakan Boomerang, ketika diputus oleh Pengadilan dan bisa menggagalkan calon tertentu. Selain itu untuk menutupi biaya dalam money politic, calon yang diputus menjadi pemenang akan bekerja keras membayar dengan ketidakadilan yang akan ia terapkan ketika dia menjabat. Dan pola tersebut akan kembali dibaca oleh masyarakat sebagai pejabat yang tidak amanah, mementingkan golongan, dan mengancam elektabilitasnya pada pemilihan berikutnya.
Upaya tersebut tentunya harus didukung oleh semua pihak, agar pemilu mencapai tujuannya, yaitu selain mewujudkan pemimpin maupun dewan yang representatif pilihan rakyat, juga menghasilkan pejabat yang mampu menciptakan kebijakan yang pro rakyat demi keadilan sosial dan kesejahteraan sosial.
*) Penulis adalah Alumni FISIP Universitas Jember serta relawan Mothercare Jatim, tinggal di Kota Pasuruan.