Oleh: M. ASAD
Agustina Amprawati. nama perempuan asal Kota Pasuruan ini, mendadak menjadi perbincangan publik. Bukan saja di jagad sosial media. Media-media mainstream pun banyak mengangkat sosok perempuan yang akrab dipanggil Tina ini, lantaran tak kunjung dieksekusi.
Pada 2014 lalu, Tina yang dikenal sebagai pengusaha jasa kontruksi ini memang sempat bikin heboh. Penyebabnya, Tina yang kala itu maju sebagai calon legislatif DPRD Jatim lewat Partai Gerindra mengaku telah menyuap sejumlah oknum Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) agar memenangkannya.
Sayangnya, lantaran raihan suara yang diperoleh tak maksimal, Tina pun buka suara. Kasus yang berujung dengan sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Surabaya itu pun berakhir dengan vonis satu tahun penjara untuk Tina.
Lebih ringan memang dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang kala itu meminta hakim menghukum Tina dengan kurungan 1,5 tahun. Tetapi, bukan ini yang dipersoalkan publik.
Vonis dibacakan pada awal 2015. Nyatanya, Tina tetap melenggang. Tina tetap menghirup udara bebas karena belum menjalani hukuman, sebagaimana yang diputus Pengadilan Tipikor tiga tahun lalu. Kini, Tina bahkan kembali mendaftar sebagai calon legislatif DPRD Kota Pasuruan melalui partai berbeda.
Tina boleh saja tetap santai. Tanpa beban, mengikuti segala proses pada Pileg 2019 nanti. Tapi, kami tidak lupa. Masih ada utang hukuman yang belum ia bayar. Kenyataan ini pula yang membuat publik kesal, sekaligus hilang akal.
Kesal lantaran Tina yang sudah weleh-weleh tak jelas akhirnya. Hilang akal, karena tak mampu mencari ruang untuk menuntut keadilan.
Ya, apa yang terjadi pada Tina seolah melengkapi ketidakberesan sistem dan penerapan hukum di negeri ini. Kendati vonis bersalah sudah dijatuhkan, yang bersangkutan tetap berkeliaran hingga kini.
Pihak Kejaksaan Negeri Pasuruan berdalih, belum dieksekusinya Tina, karena pihaknya belum menerima salinan putusan itu. Padahal, versi Kejari, sudah empat kali surat dilayangkan untuk meminta salinan putusan itu.
Pengadilan tipikor Surabaya sendiri tak mau disalahkan. Sebaliknya, pengadilan tipikor menyebut Kejari tak pernah datang untuk mengambil salinan putusan tersebut.
Pertanyaannya, serumit itukah hanya untuk mengeksekusi terpidana yang sudah divonis bersalah? Tidak adakah dari mereka (Kejari-Pengadilan Tipikor) untuk sedikit mengalah demi terlaksananya vonis pengadilan itu? Sebab, jika tak juga dieksekusi, dimana keadilan itu?
Memang, salinan putusan, bagi korps Adhyaksa adalah wajib. Karena itu menjadi landasan dilaksanakannya eksekusi itu. Tetapi, dengan dalih apapun, Tina yang masih berkeliaran meski sudah divonis bersalah, rasanya sulit diterima akal.
Kami tahu. Tina hanyalah kasus kecil dibanding ribut-ribut kasus ‘jual-beli’ fasilitas di Lapas Sukamiskin. Tetapi, kami juga tidak mau kehilangan harap, bahwa masih ada keadilan di negeri ini.
Kami yakin di luar sana, masih ada orang-orang yang peduli. Orang-orang yang masih memiliki komitmen untuk menegakkan hukum seadil-adilnya. Kepada siapapun itu. (*)