Hidup dalam bayang-bayang kemiskinan, tak lantas membuat Andika (19), Desa Gunung Tugel, Kecamatan Bantaran, Kabupaten Probolinggo, patah semangat. Dengan keyakinan diri yang tinggi, ia menekuni olahraga beladiri Muaythai. Latihan keras itupun berbuah manis dengan menyabet juara nasional Muaythai kelas 43 Kilogram.
Laporan: Sundari Adi Wardhana, Probolinggo.
CERITA seorang atlet berprestasi, namun berada di bawah garis kemiskinan tak hanya terjadi pada Lalu Muhammad Zohri, peraih juara dunia lari 100 meter U-20 di Finlandia. Meski levelnya berbeda, di Kabupaten Probolinggo, juga ada atlet yang mirip kondisinya. Dia adalah Andika, atlet olahraga beladiri Muaythai, yang menjadi juara nasional pada 2017 lalu.
Dengan menggunakan sepatu butut hasil keringat orangtuanya, Andika tekun berlatih di sekitar rumahnya. Maklum, ia tidak setiap hari bisa berlatih di Sasana Gedung 8 Pasuruan. Selain jarak yang jauh, Andika tak punya sepeda motor untuk berangkat setiap ke sasana. “Di Probolinggo kan tidak ada fasiltas untuk berlatih. Selain di sasana, saya juga latihan di rumah,” kata Andika.
Andika mengaku tertarik pada olahraga Muaythai ketika melihat pertandingan di televisi. Sejak duduk di bangku SMU, buah cinta Sahab (70) dan Muti (60) ini, kemudian berlatih di Pasuruan. Dengan bekal tekad yang kuat, ia rela bersusah payah melatih fisik dan teknik. Maklum, kedua orang tuanya hanyalah pencari rumput dan penjual sayuran keliling kampung-kampung. “Saya ini kan dari keluarga tidak mampu, tapi saya yakin bisa membanggakan mereka. Ya salah satunya dari olahraga. Syukur, tekad saya membuahkan hasil,” ujarnya.
Dijelaskannya, jika selama menjalani karirnya atlit Muaythai, ia mampu menyabet segudang prestasi. Mulai kejuaraan Muaythai tingkat daerah, provinsi hingga nasional. Semisal Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX 2016 Jawa Barat. Kemudian pada Kejuaran Nasional Muaythai 2017, Andika menjadi juara peratama untuk kelas 43 Kilogram. “Alhamdulillah seringkali menang,” tuturnya.
Selain harus berjuang melawan kemiskinan yang mendera keluarganya, atlet segudang prestasi itu masih harus mengasah kemampuannya olah raga bela diri favoritnya, dengan minim perlengkapan. Menurut Muti, ibu Andika, saat sepatunya rusak Andika hanya mampu memperbaiki seadanya. “Kalo rusak ya dijahit sendiri, susah pak. Jangankan buat beli baru, buat beli kebutuhan hidup sehari-hari saja tak cukup,” terang Muti, warga Dusun Karang Tengah ini.
Cerita kemiskinan Andika dan keluarga juga dibenarkan oleh Rupat, Kepala Desa Gunung Tugel. Ia juga mengaku iba atas kondisi keluarga Andika, dimana memiliki prestasi gemilang, namun harus hidup serba kekurangan. Pihak desa sendiri sudah membantu, namun hanya sekedarnya.
“Saya berharap, pemerintah bisa memberikan sedikit perhatian kepadanya. Kasihan pak, jangankan membeli perlengkapan olah raga, buat kebutuhan sehari-hari saja kurang. Mungkin dari KONI kabupaten bisa mengakomodir kebutuhannya, sayang kalau sampau ikut daerah lain,” jelas Rupat.
Sayang keinginan Andika untuk bertarung dalam Asian Games atau Pesta Olahraga Asia ke-18 Jakarta-Palembang, pupus. Pasalnya pada ajang Sea Games di Malaysia 2017 lalu, prestasi atlet Muaythai Indonesia sangat minim. Sehingga pada gelaran akbar se Asia itu, tidak dipertandingkan.
“Meski saya tidak diikutkan dalam Asian Games mendatang, tapi saya harap pemerintah tetap membuka kejuaraan Muaythai. Agar teman-teman atlet yang lain bisa unjuk gigi pada kejuaraan Se-Asia itu. Setidaknya negara lain bisa tahu, jika Indonesia juga punya atlet Muaythai,” tandasnya.