Setiap malam Minggu, malaikat maut dan setan sama-sama sibuk “berdinas” di kota Cak Manap. Bahkan sepertinya kian hari makin padat agenda. Malaikat berdinas di hampir semua ruas jalan raya, di hotel-hotel melati, indekos bahkan kebun-kebun pisang di seluruh penjuru kota. Menjemput siapa saja yang mendapat undian entah melalu kuota overdosis, dibegal, kecelakaan lalu lintas atau keracunan miras oplosan. Sementara di pihak lain, setan sampai lembur-lembur mengerahkan segenap personil cadangan untuk mengkampanyekan kenduren pil kucing, adu tangkas naik motor hingga tumpengan kimcil.
Cak Manap ngeri kalau kulakan malam Minggu. Sebab jalanan menjadi begitu horor. Entah dari serta mau kemana, ratusan bocah naik motor wira-wiri seperti setrika memenuhi setiap ruas serta jengkal jalan aspal yang dibangun dengan hasil utangan IMF itu. Seperti hendak konvoi kampaye tapi ndak pakai atribut apapun. Delapan puluh persen, motor yang mereka kendarai protolan, tanpa lampu dan pakai knalpon grong. Berangkat selepas maghrib pulang menjelang jam tiga dini hari. Konon hanya ngopi di seantero trotoar kota. Tapi ada pula yang bilang sekalian kenduren pil buat kucing, royokan kimcil atau adu cepat motor kreditan.
Warga yang masih berakal waras, memilih selain malam Minggu jika ada keperluan ke kota. Sebab jalanan begitu mematikan entah karena terancam begal, ditabrak bocah teler atau dibleyer dan ditantang gelut oleh bocah-bocah berlogat kasar. Pernah Cak Sudar dibleyer oleh serombongan bocah yang menyalip motornya. Reflek, Cak Sudar misuh. Tiba-tiba mereka turun dan njotosi Cak Sudar hingga mendapat banyak jahitan di kepalanya. Wak Takrip, pernah dipepet rombongan bocah mabuk. Karena menempeleng salah satu dari mereka, dua jam kemudian rumah Wak Takrip didatangi puluhan orang pengendara motor lainnya dan meminta ganti rugi lima juta rupiah. Wak Takrip harus memecah celengan anak dan cucunya karena takut rumahnya dibondet jika tidak ada uang damai.
Lha ahir-ahir ini, setiap malam Minggu semakin banyak kejadian mengerikan seperti kecelakaan tunggal, adu celurit antar rombongan atau overdosis. Korbannya rata-rata bocah belasan tahun. Rambutnya dicat, pakai tindik, dan setiap kali mayatnya diotopsi, sering positif mengandung zat terlarang pada darahnya. Tak di kota tak dipelosok yang tak terlacak Google Map, kejadian seperti itu bisa terjadi di mana saja. Bahkan di perkampungan yang dulu pemudanya lugu-lugu dan tak malu nandur pohong, kini kengerian juga terjadi.
“Saya sudah lama weekend-an malam Jum’at. Nongkrongnya di Mbah Hamid, Mbah Slagah, Habib Alwi lalu ngopi.” Gumam Firman Murtado. “Ya itu tadi, ngeri. Bukannya takut, sebab jelek-jelek begini saya lama belajar pencak. Tapi kalau main keroyok dan pakai HAM segala, nanti dijewer saja sudah visum” lanjutnya.
“Yo mbuh, mas. Bocah sekarang kok begitu, ya?” Cak Manap gedek-gedek.
“Saya sering lihat bocah ngebut sambil ngiler-ngiler mabuk. Naik motor dengan kecepatan tinggi ndak pakai lampu, ndak pakai helm bahkan muntah-muntah. Laju motornya zig-zag di jalan raya pantura. Bahkan saya pernah lihat sendiri ada yang ndelosor ke bawah ban tronton. Saya ndak tega melihatnya karena jatuh ke aspal itu ndak seenak jatuh cinta” ujar Firman Murtado membuka ceritanya.
“Lha kemarin yang sampai jatuh di Pangsud itu kan karena naik motor, boncengan tiga dan main HP?” timpal Cak Manap.
“Dan itu bukan pemandangan asing. Anak sekarang, koyok duwe nyowo sewu. Disangkanya jalan aspal itu punya pak liknya sehingga mengendara sesuka hati. Tanpa lampu, main serobot, main potong jalur bahkan makan portal. Kebanyakan main game sehingga membayangkan jatuh di aspal itu bisa bangun lagi, padahal kalau game over ya sungguhan.” Semuanya geleng-geleng kepala ndak tutuk akal.