Saat Firman Murtado memarkir motor di area parkir masjid jami’, tiba-tiba orang berlarian menuju trotoar. Cak Dullah tukang parkir masjid bahkan sampai ikut ke sana. Ingin tahu apa yang terjadi. Firman Murtado –seperti orang Indonesia kebanyakan—juga ikut ingin tahu. Ternyata ada umat Kanjeng Nabi yang sedang pasang kuda-kuda hendak tinju bebas seperti orang Thailand ketika latihan Thai Boxing.
Orang-orang ikut melerai. Bapak-bapak satpol PP ikut andil, alhamdulillah tinju bebas batal meski kedua belah pihak masih saling tuding dan mengucap “salam” khas embongan. Semoga saja tidak berlanjut dengan tradisi ksatria “mempertahankan kehormatan” ala samurai Jawa.
Tragedi sudah begitu memilukan di kota Cak Manap ini. Semoga Mbah Hamid ikut ngedem-ngedemi bahwa rejeki tidak bisa dinalar dengan filsafat matematika.
Ngilu dada Firman Murtado melihatnya. Bagaimana pun saudara-saudaranya itu adalah sama-sama orang Islam, insya Allah sama-sama NU juga. Harusnya tidak ada adu balap mengayuh becak, tidak ada adu cepat mempersilahkan para peziarah numpak becak menuju terminal sana.
Toh, rejeki tidak bisa dikejar-kejar dengan menggunakan logika matematika begitu. Kenapa kita mesti ikut-ikut “mengerjakan tugas” Gusti Allah segala? Toh, tiap saat Gusti Allah sudah berfirman kepada rejeki : “kamu jatahnya si fulan, cari dia sampai ketemu.” Rejeki sudah diutus untuk mencari kita, bukan kita yang harus mencarinya. Kalau kita ngoyo mengejar-ngejar rejeki, jangan-jangan Gusti Allah mboten kerso.Penumpang boleh naik becak, sehari bisa narik penumpang berkali-kali tapi tiba-tiba ban bocor atau peleg nggewar kena jeglongan.
Bagaimana kalau pas oleng itu ada truk di belakang kita?Sebenarnya sudah baik iktikad bapak yang berwenang saat itu. Biar jalan di depan alun-alun tidak macet atau tepatnya lahan parkir makin luas, biar saudara-saudara dari “dinas transportasi” punya jalaran rejeki dengan mengantar para peziarah ke makam Mbah Hamid, agar tretan-tretan sedejeh bisa berjualan di sekitar terminal, diadopsilah konsep parkir ziarah wisata reliji seperti di makam Sunan Bonang atau panjenenganipun Pak Karno.Tapi kultur kita rupanya beda. Entah karena hawa kota Cak Manap yang gerah khas pesisir atau kita termotifasi oleh SMS dari debt collector, adu balap becak sering terjadi.
Kata Cak Dullah agak sering terjadi seperti itu, padahal Mbah Hamid welcome kapan saja para peziarah mau sowan. Pernah ada bapak pejabat bilang kalau kita harus menjaga kualitas pelayanan terhadap para peziarah yang datang dari berbagai pelosok Nusantara itu. “Kita sudah untung punya Mbah Hamid, Mbah Slagah, Habib Alwi serta Mbah Semendi yang “loman” terhadap kita. Meski beliau-belia sudah hijrah ke alam keabadian, masih saja “menyuapi” kita. Itu suadara-saudara kita yang jual minyak wangi, siwak, rokok, kacang godok, mie goreng bahkan yang membuka warung-warung kopi “diramut” sama beliau-beliau.
” Tapi pidato itu disampaikan oleh bapak pejabat sebelum merelokasi saudara-saudara dari “dinas usaha mandiri dan perwarung kopian”.
“Saya khawatir para peziarah akan memilih jalan kaki kalau terus begini.” Kata Cak Dullah. “Suasana khusyuk kan bisa kurang kalau suasananya begini? Apalagi kan tidak semua orang suka nonton film Death Race? Bagaimana kalau orang trauma dan memilih jalan kaki?” Cak Dullah serius.
“Betul, cak. Saya saja sudah sumpah tujuh turunan takkan naik becak lagi kalau ke Malioboro. Saya pernah diuji kesabaran sama para tukang becak di sana. Bilanganya mau diantar ke Malioboro malah dibawa ke pusat souvenir. Karena sangu saya pas-pasan dan tak mau beli oleh-oleh, mereka mrengut dan menurunkan saya di gang. Terpaksa saya long march menuju Malioboro.” Ujar Firman Murtado.