Istiqomah alias disiplin itu ternyata dilakukan hampir di semua bentuk profesi ya? Mas Bambang yang punya NIP, tetap istiqomah ngelompro di warung Cak Manap saat jam kerja. Padahal sudah lama dipleroki Firman Murtado dan didongengi Ustadz Karimun. Politisi istiqomah caper meski tak musim pemilu. Istiqomah jempalitan demi cari uang buat nempur beras. Panjenenganipun sedulur-sedulur begal, juga tetap istiqomah meski sudah banyak kabar duka di berbagai media. Panitia “petak umpet” sudah dibentuk untuk bersilaturrahmi ke basis-basis sedulur begal lalu menjemput mereka buat diinapkan di “hotel”. Ada juga yang bahkan dikembalikan kepada Tuhan. Tapi karena setiap profesi perlu kesungguhan serta profesionalitas, maka para sedulur begal masih tetap bertugas.
“Memang tidak bisa memberi saran agar sedulur begal berhenti bertugas.” Kata Gus Hafidz.
“Apa karena “tim petak umpet” tidak serius, gus?” kata Firman.
“Bisa juga begitu. Tapi saya kira bukan itu faktor utamanya.”
“Apa, gus?”
“Kita medit.” Ujar Gus Hafidz seraya tersenyum penuh arti.
“Mau tidak medit bagaimana wong cari uang susahnya bukan main. Kalau sudah dapat, kena angin saja habis seperti arbanas. Sekarang apa saja beli, gus.”
“Salah kita sendiri kemenyek. Popok saja beli. Nyusoni anak tidak mau, maunya beli susu takut kendor. Takut bapaknya tak kebagian. Sayur beli di swalayan, padahal kelor, bayam, katu, luntas masih gratis hingga kini. Kadang apa saja yang dilihat dibeli. Buka sosmed, lihat sandal, sepatu, kerudung, jebakan tikus, beli meski sudah numpuk di rumah. Kalau manajemen belanja tidak kemenyek begitu, insya Allah kita tidak akan diuber-uber ulo entong alias agenda nempur beras.”
“Ya ketinggalan jaman kalau tidak ikut latah, gus.”
“Ya boleh saja memanjakan diri sekali-kali. Tapi limbah rejeki bernama zakat, sedekah dan infaq, jangan kita lupakan biar di ahirat kelak kita juga bisa dimanjakan. Lagi pula sedekah kan bisa menolak balak, bisa membatalkan musibah atau minimal mengurangi bobotnya.”
“Ah, wong kita sudah selalu dipaksa sedekah, gus. Ngurus surat kendaraan sudah diwajibkan sedekah buat pembebasan lahan parkir. Lahan parkir sudah kita bebaskan dengan urunan, markir kendaraan masih ditarik infak lagi. Setiap membayar rekening listrik, beli rokok, ngopi, beol di WC umum, ditarik sedekah meski jalan belum juga diperbaiki dan sungai belum diplengseng. Lha kalau masih harus ditarik sedekah lagi, kita uman apanya?” Firman Murtado muntap.
“Itukan upeti alias sesajen, bukan sedekah.”
“Jadi, itu sesajen?” Cak Manap heran.
“Yang namanya sedekah itu misalnya, ngurusi stabilitas urusan nempur para janda, ikut cawe-cawe mbayari urunan ngaji anak yatim atau paling tidak mbayari konco ngopi.”
“Kalau yang menjadi relawan dinas sosial para janda sih banyak, gus.” Sahut Arif sambil cengengesan.
“Kebanyakan kurang lillahi ta’ala, mas. Sebab yang diadvokasi rata-rata janda muda. Yang namanya sedekah itu contoh kongkritnya, tidak membiarkan para panitia pembangunan masjid hallo-hallo menjajakan kavling sorga dipinggir jalan. Tidak biarkan kotak amal berdebu. Tidak ngeramut kucing, ayam, perkutut melebihi yatim. Jangan biarkan tetangga kanan-kiri dihantui para peternak uang dan seterusnya. Kalau sudah begitu, haqqul yakin para sedulur begal akan pensiun dini karena SK nya langsung dicabut sama Gusti Allah.” Gus Hafidz menyeruput kopinya.
“Lagi pula jadi orang itu jangan kemetak, lah. Jangan setiap ada motor baru di-launching kita langsung utang. Apa nggak bosen seumur hidup bersilaturrahmi sama debt collector? Selama motor masih tidak rewel dikendarai kan lebih baik ditabung buat mondokkan anak, beli sapi buat celengan anak kuliah, atau ngredit motor ahirat kalau hari raya kurban.”