O ladalah, lae-lae!”
Firman Murtadlo datang ke warung dengan wajah lebih kusut dari biasanya. Langsung parkir motor, menghempaskan tas di lincak dan berteriak kepada kepada Cak Manap “bir Jowo, cak!”
“Kalau ciu bagaimana, mas?” sergah Pak Tejo yang sudah lebih dulu duduk di warung.
“Bisa tambah pening pak. Wong belum minum saja sudah kepala mau pecah.”
“Memangnya dari mana kok sampai pesan bir Jowo segala? Ada urusan penting rupanya?”
“Dari kantor kadipaten, bikin E-KTP.”
“Ooo, nggak antri?”
“Kalau soal antri, meski ramai seperti di alam Mahsyar saya sudah maklum, punglinya itu yang bikin saya pingin kudeta.”
“Ini bir Jowonya, mas.” ujar Cak Manap seraya menyorongkan segelas kopi hitam kental kepada Firman.
Pak Tejo senyum-senyum penuh arti. Setelah menyulut segaretnya, sang dalang langsung bermonolog.
“Hmm, memang masih banyak peninggalan budaya Jawa yang masih kita lestarikan hingga kini. Sayangnya, kadang kita kurang seimbang dalam melestarikan antara yang luhur dan kurang luhur. Nenek moyang kita terkenal loman alias dermawan. Jauh sebelum orang Arab datang dan memperkenalkan Islam, zakat serta sedekah, kita sudah terbiasa dengan budaya menehi atau memberi. Dan hingga sekarang, sifat luhur budaya asli kita yang bernama loman, masih kita lestarikan namun seringkali salah tempat.” Firman menyimak seraya menuang kopi pada lepek.
“Dulu orang memberi persembahan atau sesaji kepada mahluk-mahluk halus dalam rangka meneguhkan pluralitas di tanah Jawa ini. Bahwa kita bukan hanya bertetangga dengan manusia, namun juga bertetangga dengan jin, peri, perayangan, mbahu rekso bahkan gendruwo. Kalau kita punya hajat semisal ngunduh mantu, maka tetangga kita yang tak kasat mata itu juga kita kasih berkat. Maka kita taruh sesajen di babakan sungai, di sumur, di pojok terop dan beberapa tempat yang disinyalir menjadi kediaman mereka.”
“Masyarakat Jawa juga pernah menganggap para raja sebagai titisan dewa yang harus dilayani, dan salah urat itu rupanya masih kita lestarikan hingga kini. Dulu rakyat memberi upeti kepada para raja dalam rangka meneguhkan kepatuhan, dan kini upeti itu bernama pungli atau pungutan liar.”
“Yang membuat saya heran Pak Tejo, tanah Jawa sudah menganut demokrasi, plokotologi bahwa raja titisan dewa sudah tidak dipercaya karena rakyat sudah pintar oleh petuah Mbah Gugel, dan para “raja” sudah digaji oleh rakyat. Kenapa budaya memberikan upeti ini kok masih berlangsung?” ujar Firman Murtadlo musykil.
“Ya salah kita sendiri sebagai rakyat. Dermawan kok kepada para priyayi?”
“Mohon maaf, Pak Tejo, saya keberatan kalau rakyat –sekali lagi—dipaiduh. Realitanya, kalau kita mengurus SIM, KTP atau apa saja yang berurusan dengan para priyayi, akan molor kalau tanpa sesaji, eh upeti. Sudah rahasia umum itu.”
“Memang sepertinya para priyayi itu lupa kalau sebenarnya beliau-beliau adalah kuli, dan rakyat seperti kita adalah juragannya. Beliau-beliau sering lupa kalau sudah digaji mahal untuk membuatkan kita KTP, SIM atau apa saja, bukan untuk nongkrong di warung kopi. Dan kalau kita ujug-ujug datang ke kantor, maka tentu saja kita harus membawa sesajen.” Ujar Pak Tejo.
“Atau jangan-jangan, para priyayi yang menjadi kuli di kantor-kantor pemerintahan itu kita anggap semacam dedemit? Kita merasa terancam kalau tidak memberi sesajen? Berkas bisa hilang saat mengajukan e-KTP, urusan bisa berbelit-belit, dibentak, dicueki, disemayani berkali-kali, antri lama ditinggal ke warung kopi atau main game, atau urusan yang sebenarnya simpil malah dibikin rumit kalau tidak membawa sesajen?” tanya Firman.