Betapa tak teriris hati Firman Murtadlo ketika adik perempuannya pulang dari kampus dengan mata sembab. Ketika ia interogasi, penyebabnya karena Rarkonah Ainurrohmah –adik bungsunya—dicueki dosen dan tukang tagih kampusnya. Rokayah memang sudah mendaftar dan mengikuti ospek, tapi database belum masuk, namanya tak pernah dipanggil dosen ketika diabsen karena belum menyetor uang ini –itu yang harganya –jika diukur dengan harga normal—kurang masuk akal.
Firman tercenung sebentar, teringat masa lalu ketika ia–suruh siapa—kuliah. Ia adalah mahasiswa terkenal karena namanya hampir selalu terpampang di papan pengumuman yang bertema para penunggak uang kuliah. Ajian Rai Gedhek yang telah ia kuasai bahkan hingga kini ia kerahkan di hadapan mertuanya, kadang-kadang tak mempan untuk mengalahkan sisi manusia warasnya. Tapi itu Firman Murtadlo. Markonah Ainurrahmah tidak sama. Ia perempuan dan tidak bakat untuk sedikit ndablek. Makanya, diam-diam Firman Murtadlo menangis dalam hati.
Seperti biasa, Firman Murtadlo mulai mencari-cari kambing hitam yang mesti ia salahkan. Korban pertama pasti pemerintah yang hingga mendekati kiamat begini belum juga punya niat baik untuk mencerdaskan umat manusia Indonesia. Isu dan omong kosong bernama pendidikan gratis yang sudah bertahun-tahun dihembuskan –terutama oleh seseorang yang hendak ikut pemilu—masih juga mistis tak kalah dengan kombinasi angka togel yang akan keluar minggu ini.
Kalau pemerintah pusat sudah pura-pura dermawan dengan menggelontorkan dana pendidikan, pasti dana itu akan macet, menguap bahkan musnah sama sekali di tangan pemerintah daerah. Apalagi, Markonah Ainurrahmah kuliah di universitas luar negeri (baca swasta), maka pemerintah tak punya kepentingan dan salah apapun jika cuek bebek dengan “lembaga-lembaga illegal” seperti itu. “Siapa suruh sok pahlawan membantu pemerintah mencerdaskan manusia Indonesia? Jangan-jangan lembaga pendidikan hanya dijadikan sebuah perusahaan yang menampung para cendekiawan yang lontang-lantung setelah gagal nyaleg atau lelah menjadi anggota LSM?”
Kambing hitam kedua adalah orang-orang kampus itu. Kenapa jas almamater yang terbuat dari kain blacu saja harganya tak masuk akal begitu? Kenapa biaya ospek yang hanya sehari dengan diisi monolog para mentor dan senior kering referensi saja harganya setara check in di hotel bintang tujuh? Berapa keuntungan dari acara-acara seperti membikin kartu mahasiswa, mencetak kartu cicilan dan kartu absen mahasiswa? Kalau memang komitmen ingin meningkatkan mutu, mohon jangan mutu –harga—saja yang ditingkatkan. Mohon fasilitas, perpustakaan, jaringan internet, kualitas serta keaktifan dosen juga diperhatikan. Mohon dikaji lagi dosen yang sudah tak sempat membaca banyak referensi, tak sempat mengadakan penelitian ilmiah serta dosen lulusan S2, S3 yang kuliah seminggu sekali, tesis serta disertasinya dibimbing profesor Gugel atau doktor Copy Paste.
Kambing hitam terahir adalah Markonah Ainurrahmah sendiri. Memangnya mau jadi apa kok kuliah segala? Sarjana sudah klemprakan. Apakah Markonah tak mengambil ibrah dari Firman Murtadlo sendiri yang hanya jadi tukung cukur rambut selepas kuliah? Apa Markonah mau jadi intelek dan aktivis kampung yang sedikit-sedikit daftar jadi “pendamping dusun”, “pengawas pemilihan”, “DPR desa”, kader yang ongkang-ongkang kaki membebani pemerintah hingga makin rajin berurusan dengn IMF, World Bank bahkan USAID? Sudah terlalu banyak umat manusia Indonesia yang menggerogoti Ibu Pertiwi hingga makin banyak hutang.
Mohon Markonah Ainurrahmah tidak ikut-ikut menggadaikan negeri ini. Apalagi—ini yang sangat ditakuti Firman Murtadlo—menjadi karyawan di PT Masa Depan Suram (guru), jangan! Demi Allah jangan menumbalkan diri demi menjadi sok pahlawan seperti itu. Tujuh turunan dalam keluarganya, cukup Firman Murtadlo yang bernasib seperti itu!. Inna lillahi wa inna ilahi rajiuuun!