Kata siapa hidup ini indah? Kalau ada yang bilang demikian, mungkin hanya ada dua orang, pertama tukang membuat novel, kedua para zahid. Pencari Tuhan yang sudah tak tertarik dengan kehidupan yang penuh cobaan ini. Para pencari kehidupan hakiki yang sudah meninggalkan hiruk pikuk dunia yang fatamorgana dan gombal pretttt!!!
Bagi manusia biasa seperti Firman Murtadlo–sebenarnya kurang tepat disebut manusia biasa karena ia sedikit senewen—masalah tak pernah selesai semenjak ia pertama kali menghirup nafas dunia hingga kelak ajal menjemput. Lebaran kemarin ia sudah luntang-lantung cari pinjaman uang karena istri dan mertuanya berang akibat uang setoran tak lancar. Belum terpikir uang dari mana hendak ia gunakan untuk mengembalikan utang, kini sudah harus mencari uang pinjaman lagi. Anaknya yang pertama hendak masuk SLTP, anaknya yang kedua hendak mendaftar ke SD.
Di republik Indonesia Raya, biaya pendidikan belum juga murah meski sudah disokong APBN. Pemerintah memang sudah mencanangkan program pendidikan gratis, tapi “sedekah” sim salabim dari wali murid, baiknya tetap ada dalam rangka melestarikan kultur khas Indonesia Raya. Iuran pendidikan konon ditabukan, tapi “sedekah” ini itu, wajib ada dalam rangka memenuhi devisit anggaran lembaga pendidikan yang: anggaran mampet di pemerintah daerah, belum bisa dicairkan karena LPJ lebih njlimet daripada LPJ di hadapan Allah, dikembang biakkan di bank oleh pemerintah daerah agar lebat berbunga serta entah apa lagi alibi-alibi santun lainnya.
Belum selesai menghela nafas dalam-dalam akibat pesta lebaran, hampir semua wali murid di Indonesia kembali harus mengelus dada. Biaya pendidikan sama melambungnya dengan biaya kesehatan, keadilan serta apa saja yang berurusan dengan pemerintah. Sekolah-sekolah negeri, yang sarana prasarana, gaji guru, gaji pegawai bahkan biaya ngelencer para guru dianggarkan, ditanggung rakyat melalui pajak, tiap tahun masih menarik uang sewa gedung kepada wali murid. Seragam harus membeli kepada sekolah agar bisa diproyekkan. Buku pegangan murid harus membeli kepada sekolah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan guru melalui tender dengan penerbit. Sekolah favorit menetapkan standard biaya –bukan standar prestasi—dalam perekrutan murid. Bahkan kegiatan hura-hura seperti pensi, ekstrakurikuler, camping asmara, hingga belajar pencak silat sebagai warisan budaya, harus ditarik iuran.
Bolehlah sekolah menarik biaya operasional, asalkan masuk akal dan terjangkau. Pemerintah yang katanya diamanati undang-undang untuk mencerdaskan bangsa, harusnya bertanggungjawab. Tidak mempersulit pencairan. Pemerintah daerah di departemen persekolahan dan permadrasahan juga mohon tidak mengembang biakkan dana dari pusat di bank. Dan pengelola dana pendidikan, mohon menahan diri dan mengingat betul jika “meminjam” apalagi menggunakan dana penidikan rakyat itu bisa kuwalat.
Sekolah-sekolah swasta yang menggunakan sistem keuangan sentral di tangan yayasan, lazimnya memang ada keterbukaan dengan komite sekolah. Jika pemilik yayasan adalah orang kuat dan tokoh agama, mohon diingat jika “meminjam” uang pendidikan rakyat itu amat njlimet hisabnya kelak di ahirat. Harus meminta maaf kepada presiden hinnga Wak Takrip sebagai wali murid.
Penulis: Abdur Rozaq