Lebaran sudah hendak berahir. Ampunan dari Tuhan insya Allah sudah tergapai, salah khilaf kepada orang tua, famili, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat serta segenap kenalan, semoga bisa dimaafkan. Firman Murtadlo belum yakin benar bahwa Mas Bambang yang sering menjadi sasaran kekesalannya karena punya NIP telah memaafkannya. Sebab ketika meminta maaf, Firman tak menyebutkan berapa kali ia ngerasani Mas Bambang. Begitulah, Tuhan sangat menghargai hak anak Adam. Tuhan tidak ujug-ujug mengampuni seorang hamba yang membuat kekhilafan kepada hamba lain sebelum si tergugat mendapat maaf serta menyebutkan pasal-pasal yang pernah dilanggar kepada si “korban”.
Karena sudah ngelencer ke sana ke mari dalam rangka memohon maaf kepada anak-anak Adam yang mungkin pernah ia langgar haknya. Sudah bertemu serta meminta maaf kepada ratusan orang, mumpung masih ada sisa lebaran ia bersilaturrahmi dengan saudara-sudaranya di warung-warung berlampu temaram di Pasar Baru Ngopak. Ia memang tak kenal betul dengan sebagian besar saudara-saudaranya di sana, tak pernah melakukan transaksi cinta dengan mbak-mbak dan ibu-ibu di sana, tapi ia merasa perlu meminta maaf karena ia sering berpikir kurang patut : Tuhan membenci mereka.
Firman merasa, jika tidak meminta maaf—atau setidaknya bersilaturrahmi—kepada mereka, lebarannya belum lengkap. Ia telah melakukan kekhilafan amat fatal karena ikut-ikutan memandang para kekasih Tuhan yang ada di sana sebagai terdakwah sejarah. Para mami-mami sepuh, mbak-mbak, ibu-ibu pejuang hidup sejati yang demi bertahan hidup harus melelang cinta, para sopir, para samurai Jawa yang selalu nongkrong di warung-warung dengan jaket menonjol oleh gagang entah apa di pinggangnya, para “kenalannya” sesama pelanggan warung berlampu temaram itu, tanpa sepengetahuan mereka telah ia adili dengan kurang bijak.
Firman pernah menganggap jika warung-warung berlampu temaram itu sebenarnya berdiri di kerak neraka yang siapa saja berada di sana, berarti begitu mematuhi Iblis. Padahal siapakah Firman Murtadlo? Lancang benar ia mensensus siapa penduduk sorga dan yang bukan. Bukankah banyak para nabi yang terlahir dari rahim seperti rahim mbak-mbak atau ibu-ibu di sana? Bukankah banyak orang-orang seperti mereka yang kemudian terkenal di langit karena diam-diam diangkat sebagai kekasih oleh Tuhan? Bukankah hanya Tuhan yang berhak menskenarioi roman hidup semua mahluk, bahwa bisa saja seorang hamba begitu belepotan kemudian di ahir ceritanya dimandikan di sungai ampunan oleh Tuhan?
Maka, Firman dihantui perasaan bersalah atas pikiran sok benarnya selama ini. Mengakui bahwa tak selembar daun jatuh pun kecuali dalam rencana Tuhan. Tak terkeculai mereka, saudara-saudaranya di “kerak neraka” itu, mereka hanya hamba yang meneguhkan ke-Maha Berkehendak-an Tuhan yang mengumpulkan mereka di warung-warung berlampu temaram itu.
Dan Firman selalu menangis setiap kali meminum kopi di sana. Sebab di antara kelakar –kelakar vulgar serta dentuman dangdut koplo dari speaker active bermerk kurang terkenal, Firman mendengar jerit tangis menyayat-nyayat entah dari mana.
Dan benar, lebaran begini, ternyata tak semua saudaranya di sana pulang kampung. Masih ada sebagaian yang masih menunggu tetesan rejeki dengan menyediakan cinta kepada yang membutuhkan. Alangkah keras hidup! Alangkah ia tak memberi kesempatan sedikit pun untuk rehat. Selama lambung menggilas rejeki, tak boleh berhenti mulut disuapi. Alangkah tak pernah selesai hidup memberi tantangan serta cobaannya. Setelah mengumpulkan rejeki untuk pesta pora lebaran, mereka harus kembali mengumpulkan rejeki buat anak-anak atau cucu-cucu mereka yang akan memasuki tahun ajaran baru sekolah.