Orang Jawa kuno memang diajari oleh agama mereka bahwa penguasa merupakan titisan dewa. Jadi salah- benar, hitam-putih bahkan kelalilaman para penguasa, dianggap sebagai sebuah kewajaran. Bahkan menentang kehendak paling tak lazim sang penguasa pun, dianggap suatu dosa yang bisa mendatangkan karma.
Setelah Islam datang dan memperbaiki kesalahan persepsi bahwa penguasa juga manusia yang bisa alpa, giliran para penjajah Eropa bikin perkara. Doktrinasi pemimpin atau juragan wajib diberhalakan kembali digalakkan. Paling tidak hingga tiga setengah abad kemudian. Dasar apes, para penguasa pasca kemerdekaan juga masih suka memberhalakan diri, menginginkan kekuasaan mutlak tetap dalam genggaman mereka. Dan itu berlangsung hingga era reformasi bergulir.
Maka, salah urat fir’aunisme itu mengakar menjadi darah daging hingga sekarang. Hingga reformasi berjalan beberapa dasawarsa kemudian, bahkan hingga mahluk bernama Firman Murtadho harus berurusan dengan departemen permadrasahan dalam rangka memenuhi tuntutan profesi.
Firman Murtadho, aktivis kampung yang nyambi bekerja di PT. Masa Depan Suram –guru swasta—itu sudah digaji pemerintah sekerang. Setelah mengabdi sebagai pekerja sosial –mencerdaskan bangsa, menjadi pahlawan bagi nusa, bangsa dan agama sekaligus menjadi pecundang keluarga—selama tiga belas tahun, kini ia sudah tersertifikasi sebagai guru profesional. Digaji pemerintah 1,5 juta perbulan. Dibayar dengan Yen. Yen onok anggaran dibayar, yen gak onok yo sing sabar. Alhamdulillah!
Hanya saja inna lillahi, di negeri ini orang sering amnesia jika raja itu sejatinya wakil Tuhan untukngeramut, melayani bahkan pada hakikatnya adalah kuli rakyat. Orang amnesia jika pejabat, pegawai negara bahkan presiden itu adalah kuli rakyat yang telah menggaji mereka dengan membayar pajak.
Firman Murtadho sebagai guru luar negeri (baca: swasta), selalu mendapat perlakuan diskriminatif jika berurusan dengan para pejabat berwenang, dalam hal ini pegawai negara departemen pencerdasan bangsa dan agama. Tunjangan profesi Firman sering diternak di bank agar beranak-pinak untuk diambil bunganya. Pencairan harus melalui proses yang berbelit, rumit dan membutuhkan pemberkasan setebal pembukuan APBN selama lima tahun. Dan apabila data “tak sesuai dengan ketentuan”, Firman Murtadho harus wira-wiri mengurusnya ke kantor departemen yang bersangkutan.
Suatu saat, ia harus lima hari berturut-turut bolak-balik ke kantor tersebut karena selalu gagal menemui “yang berwenang” mengurus dokumen administrasi profesi. Hari pertama ibu “yang berwenang” tidak masuk kantor karena keluarganya sakit. Hari kedua ibu “yang berwenang” tidak masuk kantor karena kepentingan keluarga. Hari ketiga ibu “yang berwenang” tidak bisa ditemui karena masih ada keperluan ke swalayan untuk berbelanja keperluan sehari-hari. Hari keempat ibu “yang berwenang” gagal ditemui karena masih makan bakso di kantin kantor. Hari kelima, beliau masih istirahat siang. Istirahat, sholat, makan dan tidur siang sebentar di mes. Firman Murtadho misuh-misuh karena setelah menunggu beliau beberapa jam, beliau masih istirahat siang.
(Abdur Rozaq)
Kirimkan artikel/esai/opini/keluhan pelayanan publik/foto/informasi menarik anda ke redaksi wartabromo melalui email [email protected] atau [email protected] atau bisa juga via whatsApp (WA) di nomor 081357992501.