Pajarakan (wartabromo) – Merasa dianak-tirikan dalam kancah ketenaga-kerjaan nasional, belasan wanita pekerja rumahan wadul ke DPRD Kabupaten Probolinggo, Senin (28/3/2016). Mereka mendesak pemerintah segera merativikasi konvensi ILO nomor 177 tahun 1996 Tentang Kerja Rumahan.
Belasan Pekerja Rumahan ini berasal dari berbagai sektor, seperti perajin bordir, konveksi, batik tulis dan pekerja olahan tokek. Mereka berharap mendapat persamaan seperti yang didapat oleh pekerja yang bekerja di sebuah perusahaan.
“Kami mendesak pemerintah melalui legislatif agar segera meratifikasi konvensi itu. Upah yang kami terima murah dan rendah. Kami paksakan tetap bekerja meski tidak sesuai UMK yang hanya Rp 400 ribu sebulan, belum dipotong kebutuhan kerja,” ujar Satin (36), salah satu pekerja asal Tegalsiwalan.
Menurut Sisilia Susilo Retno, penggiat dari Mitra Wanita Pekerja Rumah Indonesia (MWPRI), sesuai konvensi ILO pasal 1(a), Pekerja Rumahan adalah seseorang yang bekerja di rumah atau di tempat pilihannya yang bukan tempat pemberi kerja. Upah mereka biasanya dibawah UMK, tapi diatas garis kemiskinan sehingga tidak masuk dalam jaring pengamanan sosial.
Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS), belum mengakui sebagai pekerja. Sehingga hak-hak normatif sebagai pekerja tidak didapatkan dengan layak. “Tak ada jaminan sosial, jaminan kesehatan, keselamatan kerja, pengawasan perusahaan yang lemah. Sehingga, pemerintah segera meratifikasinya agar kepastian bagi Pekerja Rumahan,” ujarnya saat mendampingi para pekerja.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Probolinggo, M. Yasin mengatakan untuk memperbaiki hak-hak Pekerja Rumahan, harus disikapi secara terpadu oleh dinas terkait, karena tidak sederhana yang dibayangkan.
“Tentu kami akan menjalankan fungsi Legeslasi, yakni akan melakukan kajian untuk membuat payung hukum. Juga akan mendorong eksekutif untuk melakukan pendampingan. Sehingga hak yang diterima sama dengan yang bekerja disektor formal,” tutur politisi asal PPP ini (saw/fyd)