Menurut analisa para tukang becak dalam obrolan mereka di warung kopi, yang paling bertanggungjawab terhadap kesengsaraan 200 juta lebih penduduk Indonesia adalah kaum birokrat. Yaitu mereka para pegawai negara Indonesia Raya mulai ketua RT hingga presiden. Tuhan sudah berjanji takkan memberikan ujian di luar kemampuan para hambaNya, namun tak jarang para birokrat dan pegawai negara itu melipatgandakan takaran ujian sehingga menjadi lebih berat dari yang sebenarnya diturunkan Tuhan. Seperti contoh ketika Yu Tija menderita demam berdarah, takaran ujian dari langit hanya penyakitnya itu saja. Namun ketika berobat ke RSUD Guantanamo beban Yu Tija ditambah dengan ”ujian” perasaan bersalah terlahir sebagai orang kurang mampu dan ujian kesabaran terhadap para pegawai RSUD Guantanamo yang –saking seriusnya merawat para pasien—lupa caranya untuk tersenyum. Tapi ini masih analisa, lho ya? Apalagi dilakukan oleh rakyat kecil, tanpa ”metodologi ilmiah” memadai dan dilakukan di warung kopi. Jadi kalau terjadi kekeliruan kesimpulan kita harus memaklumi. Kata Mario Teguh, orang besar yang marah terhadap kecil itu kurang gentle.
Kita tidak pintar bukan karena manusia Indonesia memiliki volume otak lebih kecil daripada penduduk negara lain di dunia. Bukan pula Tuhan melakukan ”nepotisme” terhadap kaum Yahudi yang dikaruniai kecerdasan di atas rata-rata dengan mengurangi volume otak kita bangsa Indonesia Raya. Kita ini termasuk bangsa cerdas, kok. Kalau tidak cerdas bagaimana mungkin kita bisa menciptakan aransemen gamelan yang begitu halus, bercitarasa tinggi dan hingga kini malah makin diacungi jempol oleh orang Eropa –yang katanya menjadi kiblat segenap kemajuan dan ketinggian selera terhadap segala hal. Kalau tidak cerdas kenapa keris, wayang dan Borobudur diakui UNESCO sebagai warisan dunia?. Kalau tidak cerdas bagaimana penemu rumus rawon bisa menemukan formulasi bumbu selezat itu yang hingga kini tak bisa digeser oleh ayam krispi, pizza dan sushi.
Kita tidak cerdas karena kepala bidang perizinan pustaka mempersulit proses penerbitan ISBN sehingga kitab dan buku menjadi sebegitu mahal. Belum lagi adanya para makelar, blantik dan tukang ”khitan massal” dana pengadaan buku. Bahkan, dana pengadaan kitab suci pun, masih juga disikat. Kepala bidang kesehatan menghalang-halangi kecukupan gizi anak-anak. Seringkali karunia keanekaragaman hayati yang melimpah ruah di atas negeri ”cipratan sorga” ini tertampung hanya dalam usus orang-orang tertentu, bahkan tak jarang dihibahkan kepada ”tamu negara” yang rakus bukan main. Yang tak cukup memakan buah durian, tapi juga ingin menggali seluruh pohon durian untuk dibawa ke negara mereka. Kepala bidang pendidikan menyengsarakan para guru secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. Saking senewennya, para guru sampai terpaksa menekuni profesi lain demi menghidupi keluarganya. Pagi mengajar, sore buka potong rambut. Pagi mengajar, malam menjadi biduan dangdut. Pagi mengajar, siangmyambi membantu pemerintah mengurangi kemacetan dengan ”merazia” motor-motor baru di jalan-jalan sepi.
Kepala bidang informasi terlalu ketat menyensor segela hal. Bahkan ahir-ahir ini diterbitkan undang-undang tak masuk akal semisal dilarang keras memberi usul dan masukan kepada presiden, diharamkan mengkaji ulang kinerja para menteri, dilarang keras dan tegas melacak jejak kebohongan para maling APBN-APBD dan sebagainya.
Masih menurut tukang becak dalam ”sidang paripurna” mereka seraya meramal togel, patut dicurigai ada niat kurang baik para birokrat Indonesia untuk tetap melestarikan kebodohan segenap rakyat agar tak ”mengganggu stabilitas” negara. Rakyat yang pintar rawan mengadakan makar untuk merongrong stabilitas negara. Rakyat yang pintar akan banyak tuntutan dan keinginan. Maka demi stabilitas negara serta kenyaman kerja para birokrat, kebodohan mesti dilestarikan, demokrasi diaborsi, usul dan masukan rakyat tentang program kerja birokrat diharamkan undang-undang karena itu termasuk tindakan tidak menyenangkan dan merongrong kewibawaan aparuatur negara. Dan kalau bisa, keadaan seperti ini tetap dilestarikan bahkan kalau bisa hingga -3 hari kiamat.
Kaum birokrat baik dari yudikatif, legislaif dan eksekutif bekerja sama dengan sangat baik dalam rangka melestarikan kesengsaraan rakyat. Kaum yudikatif tanpa kenal lelah merancang undang-undang tak masuk akal waras. Akal bulus diperas habis-habisan agar agenda agung menyengsarakan rakyat dapat tercapai dengan gemilang. Undang-undang yang melarang menjelek-jelekkan pemerintah baru disahkan. Presiden boleh mblendes, kaum yudikatif boleh eker-ekeran sepanjang masa jabatan dengan terus mendapat gaji besar dari kegiatan saling cakar itu. Kaum eksekutif boleh duduk santai minum kopi seraya memantau walky talkykalau-kalau ada rakyat yang melanggar hukum. Kaum legislaif sibuk membangun citra partai, merancang modus membohongi rakyat terbaru dan menekuni profesi sampingan sebagai ”tukang khitan” dana APBN, APBD, proyek bahkan dana ”hibah”. Para PNS boleh bekerja sesuai hati. Masuk kantor jam berapa pun seakan dinas tempat mereka bekerja milik mbahnya.
Di kantor-kantor dinas apapun dipajang baliho berisi prinsip kerja dan pelayanan terhadap masyarakat. Misalnya di kantor dinas surat-menyurat, perizinan dan dokumen kependudukan terpampang ”Jika bisa dipersulit, kenapa mesti dipermudah?”. Di kantor dinas ketidaksakitan terpampang baliho besar berisi ”Kesehatan Anda bukan urusan pemerintah”. Di kantor dinas Pungli Formal Negara tertulis ”Bayarlah pungli tepat pada waktunya. Pungli dari Anda untuk pembangunan daerah”. Di kantor dinas Penghapus Kebodohan dan Kepesantrenan terpampang ”Ikhlaslah beramal. Maksudnya, ikhlaskan pungli yang kami tarik dan ikhlaslah menjadi pegawai sosial meski keluarga Anda belum sejahtera”. Di rumah sakit-sakit pemerintah terdapat papan berisi tiga prinsip pelayanan ”Mrengut, Bentak, Usir”. Di kantor urusan surat-surat kepemilikan kendaraan bermotor tertulis ”One stop service. Pelayanan di satu meja. Satu di meja depan, satu di meja tengah, satu di meja belakang. Tanpa pungli, karena pungli telah dilakukan calo dan kami hanya menerima bagi hasil setelah tutup kantor”.
Dan di kantor dinas apapun, tertulis prinsip pelayanan yang berlaku secara nasional: “Budayakan antri, mohon sabar menunggu petugas yang sedang ngopi, keluyuran ke mini market atau main catur di warung kopi”
Para tukang becak yang pening karena berbagai hal itu ahirnya sepakat mengajukan sebuah solusi cerdas dalam rangka memperbaiki kinerja para pegawai negara.
“Seperti di pabrik, perlu diberlakukan kontrak kerja terhadap para pegawai negara. Kontrak kerja bukan seumur hidup, tapi diperbarui setiap tiga bulan sekali. Pegawai yang kinerjanya buruk atau membolos sekali dua kali ditegur. Ditegur masih bandel, mutasi ke daerah pedalaman. Kalau masih bandel juga, pecat!”
”Lantas siapa yang berhak memecat?”
”Ya atasannya”
”Wong atasannya juga seperti itu”
”Kalau begitu dipecat oleh lembaga di atasnya. Legislatif dipecat oleh eksekutif. Eksekutif nakal dipecat oleh yudikatif”
”Mereka itu satu paket”
”Maksudnya?”
”Yudikatif, eksekutif dan legislatif itu sama persis kepentingannya. Sama persis kecenderungannya. Sama persis niat tidak baiknya”
”Kalau begitu gampang. Kita minta mereka semua, mulai dari tingkatan paling rendah hingga menteri apel di alun-alun kerajaan”
”Mau apa, mau diberi wejangan umum?”
”No, no way, kita undang teman-teman ISIS”