Gondangwetan (wartabromo) – Sekelompok ibu-ibu bersama putra-putrinya tengah duduk melingkar.di Balai Desa Wonosari, Kecamatan Gondangwetan, Kabupaten Pasuruan. Dari kejauhan, awak Tabloid Warta Bromo tidak bisa memastikan, aktivitas yang tengah dikerjakan ibu-ibu tersebut.
Tidak bermaksud mengganggu, awak Tabloid Warta Bromo langsung menuju ke ruangan staaf perangkat desa dan menanyakan keberadaan Kepala Desa Wonosari. Dengan sikap ramah, para perangkat desa tersebut langsung mempersilahkan memasuki ruangan kepala desa.
Kebetulan Kepala Desa Wonosari, Supriyadi, tengah berada di ruangannya dan setelah berkenalan barulah ngobrol membicarakan banyak hal tentang Desa Wonosari dan aktivitas masyarakatnya.
“Masyarakat kami, sebenarnya masyarakat yang tekun dan bersungguh-sungguh ingin mewujudkan harapan dan impiannya. Tentu saja saya dan bersama seluruh perangkat serta tokoh masyarakat, mendukungnya. Karena warga berkeinginan untuk meningkatkan taraf hidupnya menjadi makin sejahtera,” kata Supriyadi, beberapa hari lalu.
Desa Wonosari, Kecamatan gondangwetan, Kabupaten Pasuruan, secara administratif terdiri dari lima dusun. Yakni Dusun Wonosalam, Kili, Ngepreng, Tumpuk dan Mukso. Dengan 14 Rukun Tetangga (RT) serta 6 Rukun Warga (RW).
Sedangkan populasi penduduk Desa Wonosari sekitar 2.600 orang dengan profesi yang paling dominan adalah petani. Serta sejumlah profesi jasa lainnya, guru, buruh pabrik, pertukangan hingga berbagai kerajinan.
Dari pembicaraan bersama Supriyadi itulah, awak Tabloid Warta Bromo baru mengetahui bahwa sekelompok ibu-ibu yang duduk melingkar itu, bukan hanya sebatas duduk-duduk bercengkerama dan bersenda gurau. Tapi mereka tengah mengerjakan sesuatu yang bermanfaat, yakni mengerjakan kerajinan batik tulis yang sudah setahun terakhir ditekuninya.
“Balai desa, setiap harinya tidak pernah sepi, terutama saat jam-jam kerja. Kegiatan selalu ada dan itu menunjukkan bahwa masyarakat tidak ingin menganggur. Meski tidak mempunyai pekerjaan tetap, mereka tetap berupaya untuk memiliki keahlian sebagai modalnya,” terang Supriyadi.
Sebagian besar warga, setiap harinya mengandalkan hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain padi dan palawija, Desa Wonosari juga dikenal sebagai penghasil buah salak dan sejumlah buah lainnya.
Dikelima dusun yang ada di Desa Wonosari, selain memiliki lahan areal pertanian untuk tanaman padi dan palawija, warga juga memiliki tegalan buah salak. Tegalan milik warga tersebut, biasanya terletak tidak jauh dari rumah tempat domisili warga pemilik tegalan.
“Salak menjadi komoditas buah unggulan. Karena salak dari desa kami terkenal manis dan tekstur dagingnya juga lembut serta empuk. Hampir setiap keluarga di Wonosari ini memiliki pohon salak, jika di tegalan dalam ukuran yang luas, di halaman rumah biasanya ditanami salak,” kata Moh Maimun, salah seorang perangkat desa.
Hasil salak dari tegal maupun halaman warga, biasanya dijual ke pasar atau ke anggota warga lainnya untuk dijual kembali di pinggir jalan yang menghubungkan antar kecamatan Gondangwetan dan lainnya serta menjadi jalur alternatif Pasuruan/Malang-Probolinggo.
Harga jual salak kepada para pedagang, pemilik pohon mematok tarif antara Rp 30.000 hingga Rp 40.000 untuk setiap 100 buah salak atau setiap buahnya seharga Rp 300 hingga Rp 400.
Karena dikenal sebagai penghasil buah salak, beberapa warga di Desa Wonosari mengolah buah itu menjadi ekstrak cair berupa sirup salak. Dengan diolah menjadi sirup tersebut, aroma dan rasa salak bisa dirasakan lebih lama, karena jauh lebih awet dan tidak mudah membusuk.