Seperti panembahan patih Gajah Mada, Cak Manap bersumpah. Selama hayat masih di kandung badan dan matahari terbit dari timur, ia takkan belanja di pasar tradisional lagi. Memang tak menggunakan huruf qosam, huruf Arab untuk sumpah dan disambung dengan nama Allah. Tapi Cak Manap, rakyat jelata pemilik warung kopi itu memiliki pendirian yang teguh. Meski tak disumpah dengan kitab suci seperti walikota ketika dilantik, Cak Manap takkan mengingkari sumpahnya.Keputusan sudah diambil, nasi sudah sudah menjadi bubur, ludah sudah di tanah, pantang dijilat lagi. Rakyat jelata memang tak seperti politisi, sekali berjanji, sampai mati akan ditepati.
Lantas, kenapa Cak Manap begitu antipati terhadap pasar tradisional? Penyakit zaman dan fenomena sosial apa lagi ini? Petaka apa lagi yang ikut-ikutan membinasakan kelangsungan pasar tradisional yang —karena vitalnya bagi ekonomi kerakyatan—menjadi prioritas pembangunan infrastruktur, begitu Baginda Nabi sampai di Madinah? Pasar sama pentingnya dengan masjid demi mewujudkan baldatul tayyibatun wa Rabbun ghafuur, bagi tercapainya fiddunya hasanah wa fil ahiraati hasanah. Kemakmuran dunia ahirat. Petaka apa lagi jika rakyat jelata ikut-ikutan meninggalkan pasar tradisional, sepakat dengan pemerintah yang tak berdaya menghadapi tekanan donatur kampanye untuk mendirikan swalayan, hyper market dan super market. Menyetujui pembakaran pasar tradisional demi tender proyek dan makelaran lapak?
“Moh!. Kapok!” kata Cak Manap masih terbawa emosi.
“Kenapa, Cak?” tanya Ustadz Karimun seraya gemetar memegang gelas kopinya.
“Trauma, Ustadz.” Ustadz Karimun terdiam. Menunggu apa pendapat Cak Manap selanjutnya.
“Nabi, ketika berdagang dulu tak pernah menipu calon pembeli. Jangankan mengatakan barang pasaran sebagai barang asli.Barang yang ada cacatnya saja ditunjukkan kepada calon pembeli sama beliau,” Ustadz Karimun merasa Cak Manap terlalu naïf. Tapi Cak Manap benar juga.Kalau gerak-gerik keseharian kita tidak meniru nabi, lantas meniru siapa?
“Saya juga pernah terkena ranjau harga,”
“Ranjau harga?” Ustadz Karimun menunggu lagi penjelasan Cak Manap.
“Ranjau harga. Barang ditawarkan dengan harga setinggi-tingginya, saat ditawar, calon pembeli diteror mental. Dibikin malu untuk menawar dengan harga yang lebih rendah. Kalau perlu disindir, di-semoni. Kalau calon pembeli terlanjur malu kan akan dibayar juga meski harganya tak wajar?”
“Jangan coba-coba melihat-melihat barang terlalu banyak. Kalau belum menemukan yang cocok dan tak jadi membeli, kita akan di-pleroki. Para penjual di lapak sebelahnya juga akan ikut-ikutan menyindir.”
“Wak Dale Carnegie pernah bilang kalau pembeli harus diperlakukan senyaman mungkin. Tapi di pasar tradisional kita itu mustahil terjadi.Senyum sangat mahal, sementara plerokandan sindirian sarkastik sudah menjadi sego-jangan.”
“Sebenarnya, saya punya iktikad baik untuk selalu berbelanja di pasar tradisional dan membeli kepada bangsa sendiri. Tapi kalau begitu caranya, saya wegah. Harusnya kita ini meniru orang Cina yang benar-benar memperlakukan pembeli sebagai raja. Tak usah diberi salam formal seperti yang dilakukan oleh pelayan di swalayan-swalayan kapitalis. Cukup bikin nyaman dan sama-sama untung saja sudah bagus.Tak usah membikin downcalon pembeli bekantong tipis seperti saya, tak usah mencari keuntungan terlalu berlipat dengan memanfaatkan keluguan calon pembeli, sebab itu kurang berkah, apalagi kalau disertai sumpah palsu.Seperti orang Cina, ambil keuntungan kecil saja asal lancar dan pelanggan mau kembali lagi. Daripada sekali untung lalu pembeli merasa tertipu, itu akan membuat kapok dan emoh kembali lagi ke pasar tradisional.”