Kian hari, di berbagai pejuru kota bahkan di penjuru propinsi—entah juga pada segenap tempat di negeri ini—makin subur berdiri tempat nongkrong bagi para pelarian. Untuk kelas “murahan” seperti kita, disebut warung kopi. Jika lebih memilih gengsi ada kafe. Dimana segelas kopi pahit bisa seharga belasan kali lipat harga kopi pinggir jalan. Ada bar yang di sana harga segelas minuman bisa seharga makan-minum lima hari di warteg. Karena di situ bukan sekedar membeli minuman, namun ditambah dengan membeli semacam “kegilaan”.
Tradisi nongkrong sambil nggedabrus memang telah ada sejak beberapa dekade lalu. Kakek dan buyut kita sering bercerita tentang sebuah tempat beraroma sorga bernama warung kopi. Seperti legenda pulau rahasia dalam film The Beach. Bahkan Picasso, Cassanova dan Van Gogh konon sering nongkrong di kedai minum buat berdiskusi tentang banyak hal. Hingga kita tahu, karya-karya para maestro itu diakui dunia.The magic of warung kopi juga diakui oleh banyak “orang besar” seperti Emha Ainun Nadjib, Butet, Arswendo serta beberapa “orang gila” yang sering nongol di TV atau di koran.
Seorang cerpenis, kolumnis, essais, novelis, kadang tiba-tiba belingsatan mencari pena atau menyalakan laptopnya sepulang dari warung kopi. Karena ide, inspirasi dan mimpi-mimpi begitu bejibun di kepalanya. Di warung kopi bisa digagas strategi cemerlang sebuah rencana kudeta militer, spekulasi bisnis, rencana pencurian, bahkan persiapan sang donjuan meniduri si janda kembang. Bermacam kearifan sekaligus kegilaan bisa bermula dari sebuah tempat bernama warung kopi.
Tapi para legenda semacam Muso, Westerling, Adolf Hitler, Kim Jong Il hingga Saddam Hussein apa juga seorang tongkronger?. Yang jelas, warung kopi masih termasuk elemen dunia. Selain putih, ia – pasti – memiliki sisi hitam. Jadi, selain warung kopi adalah “tempat suci”, ia juga merupakan tempat pelarian paling dekat bagi para penderita “kebingungan”.
Di rumah, tentu mereka menyediakan kopi dan gula. Ada istri atau pembantu pula yang siap menyeduh sepuluh liter kopi, sekalipun. Namun, berkilo-kilo meter mereka datang ke tempat sama, dengan pening kepala berbeda, namun dengan tujuan seragam : Melarikan diri!. Bisa juga sekedar untuk “merayakan hidup”.
Selain bisa ular kobra dan tarantula, kejenuhan adalah racun paling mematikan di dunia. Seorang pegawai pemerintah didera oleh kejenuhan yang bahkan belum dialaminya. Tiga puluh tahun, empat puluh tahun, ia akan mengalami detik-detik, menit serta jam-jam monoton. Berangkat pagi, apel, mengerjakan pekerjaan kemarin, sebelum kemarin, kemarinnya kemarin pada hari ini juga. Dan ternyata, kenaikan gaji pun, kalau begitu rutin, akan menjemukan juga. Apalagi diterima dengan hati was-was atas dasar hukumnya : gaji buta itu haram apa syubhat?
Nikotin, apabila bersenyawa dengan kafein, selain membunuh secara perlahan, juga memberikan rasa tenang, halusinasi, pembebasan, exit dari rumit mimpi buruk, meditasi serta pelarian. Dan warung kopi adalah sorga tempat pesta semacam itu dilangsungkan. Tapi warung kopi juga sering menjadi kambing hitam atas segenap ketimpangan yang terjadi dalam durasi umur kita. Istri, atasan, rekanan bisnis, dosen, malaikat maut, sering dirugikan oleh warung kopi atas hambur-hambur waktu kita di sana.
Namun, warung kopi bisa menjelma sebagai padepokan, fakultas, sanggar atau bahkan laboratorium, karena banyaknya ayat-ayat Tuhan yang tercecer di sana. Ada diskusi panel dan seminar sehari-semalam. Ada pengajian kitab abu-abu. Ada tawa lepas tukang becak, tukang parkir, makelar motor, blantik lonte hingga, dzikir kiai trotoar di sana. | Penulis : Abdur Rozaq