Menyoal Keterbukaan Informasi Publik

1084

PPID PasuruanAnda tahu apa itu “kepo”? Ya, “kepo” adalah kepanjangan dari knowing everything particular object. Sebuah istilah gaul untuk menyebut mereka yang memiliki rasa ingin tahu berlebih terhadap urusan orang lain. Dalam pergaulan antar teman, “kepo” mungkin diangap sebagai penyakit yang mengganggu. Namun tidak begitu dalam kehidupan publik. Mengapa? Karena dalam urusan publik, setiap warga “berhak untuk tahu” setiap informasi dan kebijakan yang berkaitan dengan dirinya. Bahkan, hak tersebut diabadikan secara internasional setiap 28 September dengan apa yang dinamakan sebagai Right to Know Day (Hari Hak untuk Tahu).

Di alam demokrasi saat ini, ketersediaan dan kemudahan akses informasi menjadi salah satu hak mendasar yang harus dilindungi. Di Indonesia, hak tersebut dijamin dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang dijalankan melalui Peraturan Pemerintah No 61 tahun 2010. Dalam regulasi tersebut setidaknya dibahas tiga hal pokok, yakni tentang informasi publik, badan publik dan sengketa informasi.

Apa itu informasi publik? Dalam undang-undang di atas disebutkan bahwa informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara atau badan publik lainnya serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Dalam UU tersebut juga lugas ditegaskan bahwa setiap permohonan informasi publik harus dapat dilayani dengan cepat. tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.

Meski sudah dijamin melalui konstitusi, akses informasi publik masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Mengapa demikian? Dalam hemat penulis, setidaknya kondisi ini disebabkan oleh tiga penyebab.

Pertama, menyangkut kapasitas teknis lembaga publik. Banyak terjadi dimana persoalan dokumen publik tidak dikelola dengan baik oleh pejabat publik. Setiap ada permintaan atas suatu dokumen, misalnya di sebuah dinas, kerap kali muncul kebingungan petugas untuk memenuhi permintaan tersebut. Hal ini dikarenakan belum adanya tradisi birokrasi yang baik dalam pengelolaan dan penyediaan dokumen publik. Keberadaan sistem informasi pun jika problemnya adalah kapasitas teknis seperti ini maka tidak akan banyak membantu. Maka jangan heran jika banyak sekali dinas-dinas di pemerintahan daerah yang punya banyak website, namun tak satupun yang berfungsi sebagai penyedia informasi publik.

Kedua problem struktural. Problem ini berkaitan dengan kebijakan dan regulasi yang kurang mendukung bagi keterbukaan informasi. Tidak sedikit pejabat publik yang kurang memahami soal apa itu informasi  yang sudah dijabarkan dalam pasal 17 dan 18 UU no 14 tahun 2008. Sering muncul perbedaan apakah sebuah dokumen boleh diakses apa tidak antara pejabat publik dengan pemohon informasi. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya prosedur dan SOP yang baku dan tersosialisasikan dengan baik kepada publik. Sehingga, setiap kali ada permintaan informasi, pemohon selalu dipersulit dan dilempar dari instansi satu ke instansi yang lain. Potret seperti ini nampaknya juga terjadi di Kabupaten Pasuruan. Terbentuknya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang diketuai oleh Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Paruaun sejak tahun 2013, seharusnya semakin mempermudah pelayanan terhadap informasi dan dokumen publik. Faktanya, yang terjadi adalah sebaliknya.

Memang dalam UU KIP ada pengecualian terhadap Informasi publik yang bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat. Sebuah pemintaan dokumen kerap kali ditolak dengan alasan ini. Bahwa penolakan badan publik untuk memberikan informasi dengan menggunakan alasan pasal 17 tentang informasi yang dikecualikan.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.