Mengungsi 30 Hari

73

Rumah Maulida adalah salah satu yang rusak berat. Lantai ruang tamunya mendongak. Dinding rumahnya rengat hingga lapisan dindingnya ambrol. Kusen pintu rumahnya bahkan tak lagi menempel dinding. Rumah lain yang rusak parah adalah rumah warga bernama Rudi. Sampai sekarang rumahnya masih dilingkari garis polisi.

Oleh: Amal Taufik

“Sudah dua hari belakangan warga tidak tidur di sini (pengungsian),” kata Imron, petugas Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD Kabupaten Pasuruan saat saya temui di tenda darurat pada Minggu (09/03/2025).

Tenda darurat itu dipasang di halaman SDN 2 Cowek, Dusun Sempu, Desa Cowek, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan. Hari itu, Minggu siang, hujan turun malu-malu di Dusun Sempu.

Udara sejuk perbukitan membalut suasana sepi tempat pengungsian. Tidak tampak aktivitas apapun di tempat pengungsian. Saya hanya mendapati satu sampai tiga anak kecil bermain-main di sekitar halaman sekolah.

Salah satu sudut sekolah sepertinya digunakan sebagai dapur darurat. Ada kompor, panci, mie instan, rentengan kopi sachet, serta kertas yang ditempel di jendela bertuliskan “jika butuh sesuatu hubungi Bu Nurti”.

Dua ruang kelas yang sebelumnya difungsikan sebagai tempat pengungsian, kosong. Hanya ada Imron, satu orang petugas BPBD lainnya, dan Nurti, relawan dari warga setempat di lokasi.

Hari itu, warga rupanya sudah kembali beraktivitas di rumah masing-masing. Di beberapa rumah terlihat warga sibuk menata jagung hasil panen.

“Sejak awal, kalau pagi-siang warga beraktivitas seperti biasanya. Ada yang kerja di pabrik, ada yang kerja di kebun. Tapi malam tidur di sini,” ujar Nurti.

Nurti mencatat, rumah yang terdampak tanah retak di dusunnya sampai saat ini jumlahnya 57 rumah, 1 musala, 1 toko, dan 1 sekolah.

Ketua RT setempat, Darmanto (52) bercerita, sepanjang hidup di dusun dengan ketinggian di atas 300 mdpl itu, ia mengalami dua kali peristiwa tanah bergerak. Pertama tahun 2016, kedua tahun 2025 ini.

Pada tahun 2016, dampak tanah bergerak tidak separah sekarang. Hanya satu dua rumah yang terdampak, dan itu pun dampaknya, menurut dia, tak begitu mengkhawatirkan.

Berbeda dengan sekarang. Rumah Darmanto sendiri juga terkena dampaknya. Lantai ruang tamu rumahnya retak, dindingnya rengat, bahkan beberapa ubin lantai rumahnya pecah.

Maulida (31), warga setempat, membenarkan peristiwa tanah bergerak yang terjadi pada tahun 2016 di Dusun Sempu, sebab saat itu yang terdampak adalah rumahnya sendiri.

“Tahun 2016 itu hanya dinding kamar saya yang retak. Tapi retak biasa. Kalau sekarang sampai renggang,” ujarnya.

Rumah Maulida adalah salah satu yang rusak berat. Lantai ruang tamunya mendongak. Dinding rumahnya rengat hingga lapisan dindingnya ambrol. Kusen pintu rumahnya bahkan tak lagi menempel dinding. Rumah lain yang rusak parah adalah rumah warga bernama Rudi. Sampai sekarang rumahnya masih dilingkari garis polisi.

Maulida masih mengingat hari pertama peristiwa tanah bergerak pada Selasa (28/01/2025) lalu. Malam itu dirinya bersama keluarganya istirahat sebagaimana malam-malam biasanya.

“Malam jam 21.00 WIB pintu rumah saya tidak bisa ditutup. Mungkin sudah ada tanah bergerak itu, tapi tidak terasa. Lalu dini hari, kakak saya dengar suara krek..krek..krek..” tuturnya.

Subuh, Maulida bangun hendak berangkat kerja. Ia membuka pintu, tetapi pintunya macet. Tak bisa dibuka. Sampai sekarang pun pintu rumahnya masih tak bisa dibuka. Kini, untuk masuk ke rumahnya harus lewat pintu samping yang langsung tembus ke dapur.

Saat awal kejadian, Maulida tak punya pilihan. Seingatnya, tanah bergerak terjadi tiga kali hari itu, yakni malam, subuh, dan pagi. Ia bingung, tangisnya pecah, lalu sambil menggendong anaknya, ia bersama suaminya pindah ke tempat pengungsian. Empat hari pertama ia tidak masuk kerja gara-gara bencana yang terjadi di kampungnya.

Sepekan lebih Maulida bermalam di tempat pengungsian, tanpa berani menengok rumahnya. Beruntung, ia punya saudara yang rumahnya tidak terdampak tanah bergerak. Sepekan lebih tinggal di pengungsian, Maulida kemudian pindah ke rumah pamannya. Salah satu penyebabnya, karena anaknya sakit.

“Waktu itu banyak anak-anak kecil sakit, termasuk anak saya. Akhirnya saya bawa pulang. Tapi kalau malam hujan deras, saya bawa kembali ke tempat pengungsian.”

Sampai sekarang, Maulida sebenarnya masih belum benar-benar berani untuk kembali menempati rumahnya. Jika sedang libur, pagi sampai siang dia berani beraktivitas di rumahnya, namun menjelang malam, ia tinggal di rumah saudaranya.

Berbeda dengan Darmanto. Darmanto sudah berani tinggal dan beraktivitas penuh di rumahnya. Selama sebulan Darmanto mengungsi di SDN 2 Cowek. Tiap subuh, sebelum berangkat ke kebun, ia sempatkan menengok rumahnya untuk bersih-bersih. Hal yang sama juga dilakukan warga lainnya.

“Waktu di pengungsian, warga tetap beraktivitas seperti biasa. Bertani, bekerja di pabrik, di proyek. Tapi malam pulang ke sana (pengungsian),” ujar Darmanto.

Baru beberapa hari belakangan ini, warga mulai kembali ke rumah masing-masing. Tetapi jika hujan deras turun, warga kembali berbondong-bondong ke tempat pengungsian lagi. Ditanya kenapa pergi saat hujan deras, Darmanto menjawab, “Itu instruksinya BPBD, kalau hujan deras harus ke pengungsian.”

Menurut Darmanto, warga akhirnya pulang ke rumah masing-masing karena merasa tak kunjung mendapat kejelasan tentang nasib mereka di pengungsian. Di sisi lain, alam di Dusun Sempu seakan menunjukkan tanda sedang baik-baik saja dan belum tercatat lagi ada tanah bergerak susulan, sehingga mungkin sudah merasa aman untuk pulang.

Baik Darmanto maupun Maulida, mereka meminta kepastian dari pemerintah. Mereka tidak ingin terus-terusan tinggal di pengungsian, sementara pemerintah tak kunjung memberi kejelasan bagaimana nasib mereka ke depan. Darmanto menyebut, dirinya dan warga sebenarnya ingin diperbolehkan kembali pulang ke rumah dan bebas beraktivitas seperti sedia kala.

“Kalau inginnya ya bisa kembali pulang seperti sedia kala, daripada ngambang tidak ada keputusan. Terus berada di pengungsian.”

Maulida mengatakan, jika misalnya warga diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing, dirinya meminta kepastian keamanan bagi warga. Ia tidak ingin jadi warga terdampak tanah bergerak untuk kedua kalinya. Jika tidak aman, ia berharap pemerintah memberikan solusi yang terbaik.

Disinggung soal relokasi, Maulida menyebut dirinya tak ada masalah, asalkan skemanya jelas dan hak-hak warga terpenuhi.

“Di sana (pengungsian) itu rasanya nelangsa. Sampean tahu, hari pertama, kedua, ketika saya dapat bantuan makanan dari Pak Kades, nangis saya. Nangis karena biasanya lihat keadaan seperti ini di TV, eh sekarang saya yang mengalami sendiri,” kata Maulida.

Pakar Geologi Institut Teknologi Sepuluh November, Prof. Indrasurya B. Mochtar, ketika mengunjungi lokasi, menjelaskan, tanah bergerak terjadi karena dua kondisi. Pertama, kemiringan yang curam. Kedua, hujan lebat. Tanah yang di dalamnya sudah mengalami retakan sejak awal, ketika hujan lebat, membahayakan.

Saat musim kemarau, mungkin tanah baik-baik saja, tetapi saat memasuki musim penghujan, air hujan akan masuk ke rongga-rongga retakan. Apalagi ketika hujan lebat, volume air yang masuk ke rongga-rongga retakan lebih besar, sehingga tekanannya besar dan akhirnya tanah bergerak.

“Selama puluhan tahun tidak bergerak, kenapa sekarang tiba-tiba bergerak? Karena retakan itu menjalar. Mungkin pertama retakannya kecil, tapi tiap tahun terus bertambah, dan makin lama makin dalam. Makin dalam, maka makin bahaya. Nah bahayanya itu ketika hujan deras,” kata Indrasurya.

Ia memberi gambaran, meski retakannya tipis dengan kedalaman 10 meter, misalnya, dan itu terisi air, tekanannya mencapai 10 ton per meter persegi. Menurut dia, jika pergerakan tanah makin luas, biaya penanggulangan akan sangat besar dan itu tidak ada jaminan apapun. Dalam 5 sampai 10 tahun lagi, tanah kemungkinan akan kembali bergerak.

“Pilihan terbaik bagi warga adalah pindah ke lokasi yang lebih aman,” imbuhnya.

Pemkab Buka Opsi Relokasi Warga

Kepala BPBD Kabupaten Pasuruan, Sugeng Hariadi mengungkapkan, ha huhusil kajian BPBD Jawa Timur menyatakan bahwa tanah di Dusun Sempu retak mengarah ke lereng, sehingga sangat berpotensi suatu saat bisa ambrol. Hasil kajian juga menyimpulkan bahwa, pertama, tanah tersebut tidak layak dihuni.

Kedua, rehabilitasi rumah hingga sarpras yang terdampak tanah bergerak di Dusun Sempu bakal menelan biaya lebih mahal daripada biaya relokasi. Ketiga, jika dibiarkan tinggal dalam kondisi seperti sekarang, akan berdampak pada psikologis masyarakat. Ketiga hal ini, kata Sugeng, menjadi pertimbangan utama untuk menentukan langkah. Tapi intinya, BPBD Provinsi Jawa Timur merekomendasikan agar dilakukan relokasi warga.

“Itu semua memang harus dihitung betul. Bukan berarti kami mengulur-ulur waktu,” ujar Sugeng.

Sugeng menyebut, selain merujuk pada kajian BPBD Provinsi Jawa Timur, pihaknya juga meminta rekomendasi Badan Geologi Kementerian ESDM. Hasilnya sama saja. Badan Geologi Kementerian ESDM merekomendasikan untuk relokasi warga.

Pemkab tampaknya juga akan sejalan dengan dua rekomendasi tersebut dan sampai sekarang, opsi relokasi itu masih terus dibahas. Termasuk bagaimana skema relokasi itu nantinya. Lokasi, tanah, biaya, hingga hunian bagi warga perlu dibahas secara tuntas sebelum melakukan relokasi.

BPBD Kabupaten Pasuruan masih mencari-cari lokasi yang representatif untuk dijadikan tempat relokasi. Meski belum pasti, namun ada tanah kas desa (TKD) yang memungkinkan untuk dijadikan tempat relokasi. Sugeng mengatakan, jaraknya sekitar dua kilometer dari Dusun Sempu.

“Kami sudah lihat tanah-tanah di sekitar situ (Sempu), sepertinya di sekitar situ belum aman juga. Saya juga sudah ke perhutani. Ya artinya semua harus beres 100 persen dulu sebelum relokasi. Huniannya rencana kami juga minta bantuan ke Pemprov Jatim,” katanya.

Sampai sekarang, BPBD masih terus menyuplai kebutuhan makanan dan perlengkapan di lokasi pengungsian. BPBD juga masih menugaskan para petugasnya untuk memantau perkembangan situasi di Dusun Sempu. Warga disarankan untuk tetap berada di pengungsian.

“Kalau mau menengok rumah, melihat barang-barang, tidak apa-apa, yang penting tetap waspada.”

Sugeng menambahkan, saat ini Bupati Pasuruan, Rusdi Sutejo, telah resmi dilantik. Artinya, sudah ada pengambil keputusan di lingkungan Pemkab Pasuruan. Ia telah melaporkan kondisi terkini bencana di Dusun Sempu kepada bupati dan dalam waktu dekat bupati akan segera berkunjung ke sana. Dengan begitu, harapannya langkah strategis akan segera ditentukan dan menjadi solusi terbaik bagi warga.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.