Penjual Es Teh, Gus Miftah dan Wali Allah

148

Pak Sunhaji mungkin berpikir, andai ia tak berjualan di tengah pengajian itu, andai libur tak berjualan malam itu saja, dirinya takkan dipermalukan, dan Gus Miftah takkan dihujat oleh jutaan orang. Tapi tangan takdir, siapa yang bisa mencegah ketentuannya?”

Oleh : Abdur Rozaq
Malam sudah larut, namun Gus Karimun, Mahmud Wicaksono dan Cak Sueb, tetap tak beranjak dari lincak warung yang sudah tutup. Mereka mengobrol tentang sesuatu yang begitu falsafi sekaligus mengharukan. Mereka mengobrol tentang Pak Sunhaji, penjual es teh keliling yang digojloki Gus Miftah saat pengajian di Magelang. Video peristiwa itu kemudian viral dan menimbulkan efek yang luar biasa. Kali ini, obrolan mereka sangat serius dan tanpa gelak tawa sedikit pun.

“Pak Sunhaji adalah seorang ayah yang mencari nafkah secara halal dengan berjualan es teh keliling. Ia berjalan kesana kemari di antara para jemaah pengajian, demi keuntungan yang tak seberapa. Di saat orang lain sudah bersantai seraya mendengarkan pengajian, ia masih saja mencari nafkah. Orang lain datang ke pengajian dengan busana terbaik dan membawa cukup uang saku, Pak Sunhaji masih mengenakan pakaian kerja dan malah sedang mengumpulkan uang. Orang-orang sedang menonton, ia masih saja mencari nafkah. Itu dilakukannya, agar tak terjerembab mencari nafkah dengan cara syubhat apalagi haram. Penghasilannya, bisa dipastikan lebih besar dari honor ceramah Gus Miftah atau adsend youtuber dan tiktoker yang menjual balada hidupnya demi konten,” kata Gus Karimun seraya menghela nafas berat.

“Entah bagaimana mulanya, Gus Miftah kemudian menjadikannya bahan banyolan saat berceramah. Rasulullah memang melarang umatnya untuk bergurau yang keterlaluan. Mungkin awalnya lucu, nanti jika lepas kontrol dan terbawa suasana, akan berubah menjadi olokan yang menyakitkan perasaan. Coba bayangkan, bagaimana perasaan Pak Sunhaji saat ratusan atau bahkan ribuan pasang mata mengarah padanya, saat Gus Miftah berkata ‘es tehmu masih banyak? Ya sudah jual sana, goblok’. Ratusan atau ribuan orang menertawainya, orang-orang di atas panggung menertawainya, sedangkan kemaramen, menyorot wajahnya yang tertekan. Pak Sunhaji tentu saja marah, merasa direndahkan, mungkin saja menyesal ditakdirkan menjadi seorang penjual es teh keliling saat pengajian, tapi bisa apa lelaki lugu itu? Yang mengoloknya –konon—gus terkenal. Jika ia protes, semua orang bisa menganggapnya tak sopan. Jika ia melawan olokan Gus Miftah, suaranya akan tertelan suara Gus Miftah yang menggelegar melalui sound system.”

“Coba bayangkan, semua mata tertuju kepada kita, ada suara menggelegar mengatakan kita goblok, padahal kita hanya mencari nafkah agar anak istri tak memakan gaji buta, misanya. Apakah mondar-mandir di antara para jemaah pengajian mengganggu pemadangan? Apakah tak boleh mencari nafkah saat ada orang sedang ceramah, padahal banyak pula penceramah yang hanya mencari uang?”

“Banyak video di media sosial yang menyorot wajah Pak Sunhaji saat digojloki Gus Miftah. Ekspresinya nampak kecewa, tak berdaya, marah namun tak habis pikir, mengapa penceramah sekondang Gus Miftah bisa berbuat ceroboh seperti itu? Bukahkah Gus Miftah terkenal sebagai –katakanlah—kiai yang sangat menjunjung tinggi kemanusiaan? Jangankan sesama muslim, dengan saudara di luar Islam saja Gus Miftah begitu cinta. Pak Sunhaji mungkin berpikir, andai ia tak berjualan di tengah pengajian itu, andai libur tak berjualan malam itu saja, dirinya takkan dipermalukan, dan Gus Miftah takkan dihujat oleh jutaan orang. Tapi tangan takdir, siapa yang bisa mencegah ketentuannya?”

“Jika kita amati dengan ilmu syariat, Gus Miftah memang salah. Selain mungkin ada perasaan superior karena berada di atas panggung sebagai –katakanlah—kiai, humornya kurang elegan. Ya, memang, Gus Miftah mungkin ingin menjalin keakraban dengan seorang penjual es teh. Pak Sunhaji pun, mungkin awalnya merasa istimewa karena seorang penceramah nasional mengajaknya komunikasi. Sayangnya, Gus Miftah terbawa euforia kekraban, sehingga lupa bahwa ia berada di atas panggung, disaksikan ribuan mata, dan Pak Sunhaji yang lebih tua darinya, bukan kawan akrabnya. Namun jika kita lihat dari kacamata ilmu hakikat, jangan-jangan Pak Sunhaji dan Gus Miftah sama-sama walinya.” Mahmud Wicaksono kaget mendengar ucapan Gus Karimun.

“Bisa jadi Pak Sunhaji seorang wali karena kezuhudannya. Tak mau mencari rejeki kotor dan memilih “hanya” menjadi penjual es teh keliling. Bisa jadi pula, Allah serta merta mengangkat derajatnya saat dipemalukan di depan umum, sedangkan ia tak bisa berbuat apa-apa. Dan sebaliknya, karena Gus Miftah menjadi musabab diangkatnya derajat Pak Sunhaji, ia juga diangkat sebagai wali. Bukankah Allah Maha Berkehendak? Apalagi, saya curiga dosa-dosa Gus Miftah telah habis, karena dibagi-bagikan kepada para penghujatnya di berbagai belahan bumi.”

“Dalam balada ini, kita saksikan bagaimana keindahan skenario Allah. Gara-gara guyonan Gus Miftah, secara tidak langsung ada puluhan orang yang menyisihkan rejekinya untuk membantu Pak Sunhaji. Bisa jadi akibat peristiwa ini, harta yang diperoleh dengan cara yang agak ngawur akhirnya disucikan melalui donasi kepada Pak Sunhaji. Gus Miftah yang dihakimi oleh banyak orang, tanpa sengaja mengubah nasib Pak Sunhaji dengan sekejap mata. Bagi Gus Miftah sendiri, balada ini bisa saja menjadi titik balik. Menjadi alat introspeksi dan penyucian keakuan.”

“Yang paling rugi adalah para penghujat, para konten kreator pencari sensasi apalagi para provokator. Sebaiknya kita sudahi polemik ini, karena Pak Sunhaji telah memafkan Gus Miftah, dan Gus Miftah sendiri sangat menyesal. Para penghujat yang membabi buta, para konten kreator penjual sensasi dan para pemancing di air keruh, mereka takkan mendapatkan apapun selain kerugian.”

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.