Saat kecil, kita sering ditanya, “Apa cita-citamu nanti?” Jawabannya sering kali berputar pada profesi seperti dokter, polisi, atau guru. Di masa itu, banyak siswa melihat guru sebagai sosok mulia, pencerah yang mencerdaskan generasi bangsa. Namun, seiring waktu, pandangan terhadap profesi guru berubah. Salah satu isu utama adalah kesejahteraan.
Oleh: Khamimisme*
Tidak jarang terdengar kisah guru di sekolah swasta kecil yang hanya menerima gaji Rp150.000 hingga Rp500.000 per bulan. Kondisi ini tergantung pada lokasi, pengelolaan sekolah, dan jam mengajar. Meski begitu, sekolah swasta berperan penting dalam membantu pemerintah menyediakan akses pendidikan yang lebih luas. Menurut data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) pada 2023, terdapat 4.523 perguruan tinggi yang menawarkan program pendidikan.
Setiap tahun, ribuan calon guru lulus dari berbagai universitas. Namun, berapa banyak dari mereka yang memilih untuk benar-benar menjadi guru?
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2023 mencatat bahwa mayoritas pengajar di Indonesia berasal dari generasi milenial (1981-1996), yakni 51,95% dari total pengajar. Sementara itu, generasi X (1965-1980) menyumbang 29,89%, generasi Z (1997-2012) sebanyak 14,73%, dan baby boomer (sebelum 1965) hanya 3,43%. Generasi Z, meski jumlahnya masih sedikit, memiliki potensi untuk tumbuh seiring waktu karena banyak di antara mereka masih berada di bangku kuliah atau sekolah menengah.
Generasi Z dikenal inovatif, adaptif dengan teknologi, dan peduli pada dampak sosial. Meski demikian, banyak dari mereka ragu untuk memilih profesi guru. Faktor utamanya adalah kesejahteraan. Gaji guru di sekolah swasta kecil sulit memenuhi kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Selain itu, menjadi ASN guru tidaklah mudah, mengingat seleksi yang ketat dan persaingan tinggi. Bahkan setelah lulus sebagai guru PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa jenjang karier tidak sejelas ASN reguler, seperti peluang menjadi kepala sekolah.
Akhirnya, banyak lulusan pendidikan memilih jalur karier lain sehingga disiplin ilmu yang mereka tekuni menjadi sia-sia. Padahal, segala teori dan pembelajaran mereka benar-benar disiapkan untuk mendidik para penerus bangsa. Berdasarkan pengalaman penulis, tidak sedikit teman-teman seangkatan yang lulus dari fakultas pendidikan justru menjadi bankir, karyawan swasta, atau bekerja di sektor nonformal.
Tidak hanya itu, beban seorang guru tidak hanya soal mengajar dan memberi nilai rapor saja. Ada banyak hal lain yang menjadi tanggung jawab guru, yang oleh beberapa guru dianggap sebagai beban berat dan menyita waktu. Membuat modul ajar, silabus, soal-soal latihan, serta kebutuhan administratif lainnya merupakan pekerjaan tambahan. Belum lagi, akhir-akhir ini banyak kasus guru yang berurusan dengan penegak hukum dalam tanda kutip “kriminalisasi guru-guru.” Ini juga harus menjadi perhatian pemerintah agar profesi guru dan para guru mendapatkan perlindungan hukum.
Meski penuh tantangan, profesi guru tetap memiliki peran tak tergantikan. Meskipun belajar tidak harus di sekolah, peran guru sangat vital, terutama dalam membentuk karakter generasi penerus. Dengan perhatian lebih dari pemerintah, seperti program sertifikasi dan tunjangan profesi, diharapkan semakin banyak generasi muda, termasuk Gen Z, yang tertarik menjadi guru dengan sepenuh hati. Teknologi juga membuka peluang baru bagi Gen Z untuk membawa inovasi ke dunia pendidikan. Karena dunia pendidikan saat ini sangat dekat dengan teknologi, sering menggunakan media elektronik dalam proses belajar mengajar. Mereka memiliki kemampuan untuk memahami dan beradaptasi dengan generasi Alpha, generasi di bawah mereka, yaitu siswa-siswa masa kini yang tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi.
Semoga tulisan ini bisa membuka semangat para Gen Z agar menjadikan profesi guru sebagai cita-cita mereka. Sebagai penutup, penulis mengucapkan Selamat Hari Guru Nasional 2024 kepada semua guru di Indonesia, termasuk dosen di perguruan tinggi. Semoga para pendidik terus menjadi inspirasi bagi generasi mendatang. Guru Hebat, Indonesia Kuat!