Mblantik Survei Pilkada

173

Mengapa harus ada survei, ya sebagai daya gertak politis. Mirip dagelan Korea Utara dan Korea Selatan yang sejak dulu hanya saling gertak agar lawan down dan kalah sebelum perang. Kalau menurut istilah Wak Takrip, psy war atau apa gitu namanya.

Oleh: Abdur Rozaq*

Mantan aktivis seperti Mahmud Wicaksono, sesekali juga ada perannya dalam kehidupan berbangsa. Selain sebagai tukang paido atau tukang kontrol sosial alias kritikus, orang-orang seperti Mahmud Wicaksono bisa diberdayakan sebagai kuli musiman. Misalnya menjadi pengepul foto copy KTP untuk pendaftaran calon independen, tukang buzzer saat kampanye, atau bakul survei.

Karena orang seperti Mahmud Wicaksono selalu butuh uang dalam rangka bertahan hidup, mereka biasanya tidak terlalu idealis. Kampanye calon mana saja ikut, serangan fajar dari arah mana saja diterima, advokasi apa saja terlibat, apa saja bisa didemo, tapi tuntutan demo bisa dibatalkan asalkan ada win-win solution. Yang mendemo mendapat dana seduluran, yang didemo tidak dilanjutkan kasusnya. Tak terkecuali saat mendapat job survey politik, prototipe Mahmud Wicaksono juga fleksibel. Hasil survei bisa dirundingkan. Untungnya, Mahmud Wicaksono tak pernah terafiliasi dengan lembaga survei mana pun. Ia semacam detektif swasta yang bekerja secara mandiri.

Pemilu lokal kali ini pun, akhirnya Mahmud Wicaksono mendapat job receh sebagai tukang survei elektabilitas calon. Sebenarnya sih bukan tugas remeh, karena tidak semua orang bisa menjadi tukang survei. Meski honornya hanya cukup beli beras 25 kilo, jika tidak pernah aktif sebagai aktivis mahasiswa, tidak punya jaringan orang dalam, saat mendaftar namanya akan langsung dicoret. Solidaritas persahabatan di negara Mahmud Wicaksono memang kuat. Demi persahabatan, panitia rela mencoret nama pendaftar yang bukan sahabatnya. Apalagi, dana survey elektabilitas seperti ini sebenarnya lumayan. Tapi kan, setiap ring pasti butuh pelumas dan biaya administrasi?
Entah karena memang kultur atau honor yang terlalu apa adanya, Mahmud Wicaksono akhirnya –sekali lagi—mengisi data survey seakan sedang menulis cerpen alias mengarang bebas. Ia memang datang ke lokasi survei demi melengkapi kordinat peta yang diminta aplikasi. Tapi karena tidak semua orang bersedia menjadi responden, atau bersedia diwawancarai tapi minta souvenir, akhirnya Mahmud Wicaksono putar otak. Semua data kuesinoner ia isi sesuai imajinasi, agar hasil survei nampak meyakinkan.

Mahmud Wicaksono mengisi data-data itu sambil ngudut di warung kopi seraya menonton Tiktok. Sesekali menulis komentar, lalu kembali mengisi data. Ia kira-kira seperti apa pantasnya jawaban para respondennya, pokoknya disesuaikan dengan jenis kelamin, usia, lulusan dan background mereka. Bagi Mahmud Wicaksono, itu tidak sulit karena ia memang penulis cerpen. Dengan imajinasi dan improvisasi, selesailah berlembar-lembar kuesioner itu hanya dalam hitungan jam. Lumayan daripada harus membuka lapak cukur rambut sehari.

Omong-omong, ternyata bukan hanya Mahmud Wicaksono yang mengisi data seperti itu. Cak Paijo LSM, ternyata malah mencontek data yang sudah diisi Mahmud Wicaksono sebagai laporan. Nyontek plek, tanpa perubahan sedikit pun selain nama surveyor dan para narasumber. Cak Paijo LSM bilang, pemilik lembaga survei memang berpesan agar hasil survei “sesuai arahan sutradara”.

Mengapa harus ada survei, ya sebagai daya gertak politis. Mirip dagelan Korea Utara dan Korea Selatan yang sejak dulu hanya saling gertak agar lawan down dan kalah sebelum perang. Kalau menurut istilah Wak Takrip, psy war atau apa gitu namanya.

Ajaibnya, data survey yang sudah dipesan hasilnya itu, bisa membuat pemilih di negara Cak Sueb berubah haluan. Awalnya metenteng memilih calon A, setelah melihat hasil survey, malah berubah memilih calon B. Jadi, salah satu penentu kemenangan seorang calon pemilu, ya tukang cukur seperti Mahmud Wicaksono ini. Meski hanya beberapa persen. Sebab prosentase tertinggi yang menentukan kemenangan seorang calon, hingga kini masih saja kaliber amunisi serangan fajar. Semakin besar kaliber amunisinya, makin menentukan kemenangan seseorang.

Apakah logika dan hati nurani sudah tidak dijadikan pertimbangan orang untuk menentukan pilihan? Konon sih, orang sudah sedikit kapok. Sebab meski telah menggunakan primbon, bahkan istkikharah saat menentukan pilihan, hasilnya ya begitu-begitu saja. Konon sih begitu. Paling tidak, para blantik di warung Cak Sueb sering bilang begitu.

Kenapa selama ini hasil survey perusahaan A berbeda dengan hasil survey perusahaan B, mungkin ya oknum seperti Mahmud Wicaksono dan Cak Paijo LSM ini biang keroknya. Tapi dibilang oknum, kok banyak ya?

*)Penulis adalah penulis cerpen, opini dan skrip film. Ia juga youtuber.

Disclaimer: Hanya fiksi semata, jika ada kesamaan nama tokoh dan peristiwa, hanya kebetulan semata

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.