Kota ‘Tidak’ Ramah Anak

29

“Bagaimana kalau kita demo ke kantor wakil kita? Bukankah kita sudah mencoblos dan memberi mereka lapangan pekerjaan? Kita tuntut mereka agar mengesahkan undang-undang yang mengizinkan hukuman berat bagi anak-anak nakal?”

Oleh: Abdur rozaq

Pelanggan warung Cak Sueb panik ketika melihat Cak Somat tahu ngebut seraya menenteng celurit. Lelaki pendiam itu sepertinya sedang tergesa, dan raut mukanya nampak marah. Ada apa? Bathin mereka. Masa ribut perkara pemilu lokal? Tidak mungkin, rakyat sudah mulai cerdas. Takkan sudi gegeran gara-gara pemilu. Wong sesama pengepul suara saja suka saling tukar foto copy KTP dan nomor NIK, demi mengisi formulir calon penerima serangan fajar. Ketika Cak Sodik mengejar sang kakak yang ngebut membawa celurit tadi, beberapa orang menanyainya. Cak Sodik menjawab, keponakannya, anak Cak Somat tahu, mendapat musibah. Pengepul togel itu lantas memacu motor mengejar sang kakak.

Semua orang lantas ikut marah ketika mendapat informasi di group WA RT-RW. Terkuak, anak Cak Somat ternyata menjadi korban bulliying di sekolahnya. Rendi anak Cak Sodik, dibully habis-habisan oleh beberapa anggota geng sekolah, dan guru-guru di sana, tak bisa berbuat banyak karena takut pada komnas pelindung anak nakal sekaligus komnas pelindung orang bersalah.

Jangankan Mahmud Wicaksono, Wak Takrip saja marah mendengar kabar itu. Apalagi juga beredar video para pelaku memukuli anak Cak Somat. “Apa kita ikut ke sana juga, bawa celurit sekalian?” katanya seraya gemetar memegang gelas kopi.

“Ya jangan lah, wak. Ini negara hukum,” lerai Mas Bambang LSM.
“Hukum rimba?” Sahut Mahmud Wicaksono. Tukang cukur yang biasanya bijak bestari itu nampaknya sudah terprovokasi. Begitu bahayanya sebuah postingan di media sosial.

“Beberapa bulan lalu ada geng motor tiba-tiba membacok anak-anak cangkruk di pinggir jalan. Minggu lalu ada siswi dicabuli di sekolah, sekarang malah perundungan. Ada apa di kota kita ini? Dulu kita hanya melihat berita-berita begitu di tv, sekarang malah terjadi di kampung kita.” Saking emosinya, Mahmud Wicaksono membanting kotak rokok Gus Karimun, yang baru saja diambil isinya sebatang.

“Sik, mas Mahmud,” lerai Gus Karimun. “Kita tidak boleh ikut-ikutan terprovokasi begini. Barangkali anak Cak Somat yang salah. Barangkali siswi yang kemarin dicabuli juga memang suka sama suka,” sambung Gus Karimun.

“Ya, andai Rendi salah pun, ya tidak boleh dikeroyok begitu, gus. Apalagi siswi yang kemarin dicabuli. Jika suka sama suka, tak mungkin melapor.” Gus Karimun manggut-manggut juga. Sepertinya benar juga omongan tukar cukur itu.

“Bagaimana kalau kita demo?” Seloroh Cak Sueb lantang.
“Demo ke mana?”
“Ya ke sekolahnya.”

“Jangan cak. Kasihan guru-guru di sana. Mereka sudah ruwet dengan pekerjaan admistrasi yang tak ada habisnya. Mereka juga sudah pening menangani kenakalan para murid atau protes wali murid yang banyak maunya. Apalagi kalau gurunya honorer, masih harus memikirkan penghasilan tambahan. Kita harus bersikap hormat kepada guru,” kata Mahmud Wicaksono seraya menyeruput kopi Gus Karimun.

“Bagaimana kalau kita demo ke kantor wakil kita? Bukankah kita sudah mencoblos dan memberi mereka lapangan pekerjaan? Kita tuntut mereka agar mengesahkan undang-undang yang mengizinkan hukuman berat bagi anak-anak nakal?” Usul Cak Sueb. Setelah smartphone membumi, penjual kopi pun bisa cerdas.

“Kita demo juga kantor komnas pelindung anak nakal dan kantor pembela orang salah. Mereka mencurigakan, sepertinya disusupkan asing untuk mengacak-acak norma di negara ini.” Tegas Mahmud Wicaksono.
“Sepakat!”
“Tapi kita konsep dulu tuntutannya. Pertama, desak mereka untuk merevisi aturan di bawah umur bagi pelaku kejahatan. Yang namanya di bawah umur itu ya, di bawah usia baligh dan tamyiz. Kalau anak berusia SMP, apalagi SMA, itu sudah dewasa. Sudah ngerti uang, ngerti baik dan buruk, ngerti konsekuensi, ngerti akibat perbuatannya. Komnas pembela orang bersalah juga harus kita demo. Masa orang boleh bacok orang, sementara jika korban membela diri malah dipidana?”

“Kita juga harus menyuarakan agar pemerintah tidak terlalu membebani guru dengan admisitrasi ini itu, agar bisa lebih fokus memperhatikan para murid. Para orang tua jangan aleman, sedikit-sedikit lapor kalau ahlak anaknya diperbaiki guru. Kawan-kawan LSM juga jangan suka menakut-nakuti guru kalau menegur murid yang bandel,” ujar Mahmud Wicaksono menerawang.

“Sik talah, yang mau kita demo ini siapa sih, kok merantak ke mana-mana?” Protes Mas Bambang LSM.
“Ya ternyata banyak pihak yang harus kita demo dalam kasus ini. Karena menurut analisa saya, semua pihak banyak yang harus ikut bertanggung jawab. Termasuk kita sendiri. Jangan sampai memberi makan anak-anak kita dengan uang panas, agar ahlak mereka terkendali.” Kata Mahmud Wicaksono.

“Usul saya juga, setiap orang tua intens berkomukasi dengan anaknya. Harus tahu siapa kawan dan dimana anaknya biasa main. Tahu apa saja kegiatan di luar rumah. Kapan pergi dan kapan pulangnya. Kalau bisa, password medsosnya nya pun harus tahu. Sebab anak-anak sekarang, seringkali lebih brutal daripada orang dewasa. Makanya, undang-undang di bawah umur bagi anak pelaku kejahatan sudah tidak relevan. Harus dihapus. Kalau ada lembaga yang membela, hapus juga sekalian.”

“Terus bagaimana andai pelaku bully atau pencabulan itu orang tua atau guru, misalnya?”Kata Gus Karimun.
“Ya mestinya dihukum lebih berat. Ini kan sudah pagar makan tanaman? Kalau orang tua atau guru sudah tega berbuat begitu, lalu kita bisa mempercayai siapa lagi?”

“Sepertinya perlu juga, anak-anak kita ikutkan sekolah beladiri, tapi bukan di perguruan yang suka konvoi lalu menyerang orang tak bersalah. Jadi kalau ada yang mau membully atau melecehkan, sikat tanpa ampun.”

“Terus kapan kita demo?”
“Ya, kita cari sponsor dulu.”

*Penulis buku, cerpenis dan youtuber

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.