Ada juga yang bikin isu, beberapa ketua gerombolan, paguyuban dan ormas, telah merapat kepada si petahana, dengan deal-deal-an cantik. Misalnya, si petahana harus mau menjadi ATM berjalan bagi paguyuban-paguyuban itu. Ada semacam jatah preman yang harus disetor, jika si petahana ingin terpilih dan jabatannya langgeng.
Oleh: Abdur Rozaq*
Andai agen Mossad beroperasi di negara Wak Takrip, maka mereka tak perlu repot menggali data intelijen ke mana-mana. Cukup ngopi di warung Cak Sueb, dalam sehari mereka akan mendapat sebagian besar data keamanan negara. Sebab di warung reot pinggir kali ini, hampir semua isu politik, sosial, ekonomi, budaya bahkan aib para tetangga, diobral tanpa menggunakan kode rahasia apapun.
Tipikal masyarakat di kampung Mahmud Wicaksono itu memang demikian. Sekolah tak ada yang tuntas, membaca tak hobi, tapi isu dunia terkini, mereka update entah dari mana. Mungkin ini berkah jaringan internet dari wifi colongan punya tetangga, atau entah apalah. Yang jelas, penduduk kampung Wak Takrip ini sudah siap untuk menyongsong era Indonesia Cemas 2045.
Dan karena sudah lama menjadi obyek hegemoni barat, demokrasi dianggap danyang di sini. Semua orang memiliki hak yang sama untuk berlaku sak karepe dewe. Boleh check sound system horeg pukul 1 dini hari, boleh pakai knalpot brong di gang-gang kampung, boleh menghujat di kolom komentar media sosial. Toh jika dilaporkan ke polisi, solusinya cuma materai sepuluh ribu dan video permintaan maaf. Maha benar demokrasi dengan segala manipulasinya. Oleh karena itu, bumbung kosong dalam pilkades yang akan segera diselenggarakan, harus ditolak! Harus!
Alkisah, dalam momentum pilkades kali ini, petahana kembali mencalonkan diri. Mungkin karena terlalu nyaman, bikin ketagihan, akhirnya si petahana kembali nyalon. Lagi pula, cari lowongan pekerjaan terlalu sulit. Mau wirausaha sendiri, harus babat alas dan terkesan kurang bonafid. Masa mantan kades banting setir jadi tukang cuci motor? Masa mantan ibu kades jadi welijo? Kan terlalu naif? Sayangnya, beberapa orang yang biasa nongkrong di warung Cak Sueb, tiba-tiba bikin desas-desus jika tidak adanya calon lain yang berani maju, merupakan akibat konspirasi.
Ada yang bilang, calon petahana terlalu kuat karena disokong oleh dana begitu besar. Para pengusaha yang yakin si petahana masih kuat, berebut berinvestasi dengan imbalan usaha mereka aman dan lancar jika si petahana kembali terpilih. Konon, Cak Sukur Las, Cak Paedi ayam potong, Mbak Jinem welijo, sudah bikin MoU untuk menjadi donatur. Dengan catatan, semua proyek yang berhubungan dengan las mengelas, diberikan kepada Cak Sukur. Cak Paedi juga meminta semua acara yang membutuhkan daging ayam, harus mengambil darinya. Sedangkan Mbak Jinem, hanya meminta agar lapak welijo yang kian meluas seperti wilayah Israel, jangan sampai digusur meski berada di tanah irigasi sekaligus tanah jalan.
Ada juga yang bikin isu, beberapa ketua gerombolan, paguyuban dan ormas, telah merapat kepada si petahana, dengan deal-deal-an cantik. Misalnya, si petahana harus mau menjadi ATM berjalan bagi paguyuban-paguyuban itu. Ada semacam jatah preman yang harus disetor, jika si petahana ingin terpilih dan jabatannya langgeng.
Tapi sekali lagi, ini hanya isu.
Makanya, para pemuja demokrasi seperti para peminum kopi di warung Cak Sueb, protes. Sayangnya, mereka hanya saur manuk di warung kopi. Tidak membikin tulisan di koran, membuat postingan di media sosial, apalagi demo di kantor panitia pilkades.
“Tidak bisa! Teriak Mahmud Wicaksono.
“Pemilihan itu ya harus ada yang dipiilih. Namanya pemilu ya memilih di antara beberapa pilihan. Masa mau seperti di Korea Utara, ada pemilu, ada beberapa surat suara, tapi mencoblos gambar apapun, tetap Kim Jong Un yang kembali jadi pemimpin?”
“Lha bagaimana lagi, wong tak ada yang berani nyalon juga?” Ujar Mas Bambang LSM.
“Tak berani apa ditakut-takuti?” Sergah Cak Mad selep keliling. “Katanya kemarin Wak Mudin mau ikut nyalon, tapi ditakut-takuti. Diancam SK nya dicabut jika ikut nyalon.”
“Kalau memang terpaksa harus melawan bumbung kosong, ya bumbung kosong itu harus diperlakukan sebagaimana sosok manusia. Harus disosilisasikan keberadaannya, dibuatkan banner imajiner, anggap saja seperti Eyang Semar yang gaib tapi ada. Mereka yang lebih percaya pada bumbung kosong akan memperbaiki keadaan, ya monggo membentuk tim sukses, disewakan posko, dibuatkan visi-misi, dan urunan untuk amunisi serangan fajar.”
Cak Sueb ngakak mendengar ucapan Mahmud Wicaksono. Pemilik warung kopi itu semakin yakin jika Mahmud Wicaksono memang sempel.
“Panitia pemilu, juga harus bersikap seakan-akan bumbung kosong itu benar-benar ada dan nyata. Harus menerima pengaduan dari tim sukses kubu bumbung kosong, mengawasi kecurangan pihak bumbung kosong, bahkan menyiapkan podium saat bumbung kosong hendak menyampaikan visi-misi.”
“Sik talah..” Potong Gus Karimun. Kenapa kok tiba-tiba banyak yang berpihak pada bumbung kosong, padahal sosoknya saja tidak ada?” Sambungnya.
“Lho, masa bisa disebut pesta demokrasi kalau yang dipilih cuma satu calon, gus? Masa orang yang kurang sreg dengan kinerja petahana harus memilihnya?” kata Mahmud Wicaksono.
“Mencoblos itu ibarat cinta kan gus, tidak bisa dipaksa? Meski ditembak dengan serangan fajar kaliber tsar bomba, kalau nggak sreg, ya tetap diambil serangan fajarnya, tapi nyoblos yang lain,” sambung Mahmud Wicaksono.
“Ayo, siapa yang mbarengi saya sowan ke kantor panitia pilkades untuk menyampaikan usulan kita ini? Tantang Mahmud Wicaksono.
“Kita paksa, eh kita usulkan jika kubu bumbung kosong harus mendapat payung hukum sebagaimana calon dari bangsa manusia. Sebab bisa jadi, bumbung kosong yang ghaib, abstrak dan klenik, lebih amanah dari yang jumleger.”
*Penulis adalah penulis buku, cerpenis, dan youtuber sejarah