Tawasul, Seni Mengenang Mbah Wali

551

Oleh: Amal Taufik

Selembar Kertas

Jatuh ke bumi

Yang terpuji

Yang dipuji

Yang memuji

Dimanakah dirimu kekasih
Meletakkan selembar kertas itu?

PUISI di atas adalah karya Abdul Rosyid. Salah satu puisi yang dipamerkan dalam pameran seni rupa dan puisi berjudul Tawassul 3: Baynalkafi Wannun yang digelar di Mal Pelayanan Publik, Kota Pasruan sejak Rabu (11/09/2024).

Puisi Abdul Rosyid itu cukup menggambarkan suasana pameran Tawassul 3. Para seniman mencari, menyelisik, mengeksplorasi, mengungkap–juga mengungkapkan selembar kertas yang jatuh ke bumi melalui karya-karya mereka.

Selain Abdul Rosyid, ada 37 penyair lain yang berpartisipasi dalam pameran ini. Beberapa nama yang cukup dikenal di dunia kesusastraan nasional juga berpartisipasi seperti Heru Joni Putra, Kedung Darma Romansa, Raudal Tanjung Banua. Ada juga karya santri Ponpes Bayt Al Hikmah.

Pameran seni rupa dan puisi ini digagas oleh Sjafril, seniman muda sekaligus alumni Ponpes Salafiyah. Tahun ini adalah tahun ketiga. Ia menggelarnya setiap momen peringatan haul KH. Abdul Hamid.

Sjafril mengatakan, pameran ini digelar sebagai ungkapan terima kasih kepada KH. Abdul Hamid. Nama ‘Tawassul’ yang dijadikan sebagai judul pameran muncul setelah melalui diskusi dengan beberapa seniman serta renungan kisah-kisah spiritual. Salah satunya kisah tentang tiga orang yang terjebak di dalam goa.

“Dalam kisah itu, ketiganya bertawasul lewat perbuatan-perbuatan baik mereka. Artinya tawasul bisa lewat berbagai media,” kata Sjafril.

Sjafril, dalam tulisan kuratorialnya bersama Zuhkhriyan Zakaria mengungkapkan, baynalkafi wannun merujuk pada kondisi transisi antara kehendak dan perwujudan. Atau jika merujuk pada kekuasaan Tuhan, yakni kondisi antara “kun” dan “fayakun

Kehendak mencipta yang dimiliki manusia selalu menghadapi ketidakpastian. Tetapi manusia juga memiliki harapan. Manusia berproses di rentang kedua ruang itu yang, “Belum sepenuhnya jelas, namun sudah mulai mengambil bentuk,” tulis Zuhkhriyan Zakaria dan Sjafril.

Ruang “di antara” itulah yang dimaksud baynalkafi wannun. Semacam ruang spiritual di proses penciptaan. Lewat perjalanan “di antara” itu, kata Zuhkhriyan Zakaria dan Sjafril, bisa dimaknai bahwa segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini atas izin-Nya, sementara manusia hanya perantara di dalam kejadian tersebut.

Kurator pameran, Yudha Prihantanto mengatakan, karya-karya dalam pameran Tawassul 3: Baynalkafi Wannun terus meningkat dibanding pameran Tawassul 1 dan Tawassul 2. Bahkan ada seniman-seniman baru yang berpartisipasi.

Sebagai pengunjung, salah satu yang menarik bagi saya adalah karya berjudul Assholatu Jami’ah milik M. Shobari. Shobari membeber sajadah utuh yang dibubuhi bercak-bercak bekas terbakar. Barangkali sajadah itu, oleh dia, memang benar-benar dibakar.

Visualisasi itu cukup menggugah. Sajadah sebagai simbol ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya. Tempat meletakkan kepala seorang hamba serendah-rendahnya di hadapan zat yang maha segalanya.

Bercak-bercak bekas terbakar menyiratkan ketaatan–atau jika bisa disebut perjalanan spiritual–yang tidak mudah. Apabila merujuk pada cerita-cerita di kitab suci, berbagai tantangan dan ujian kerap dihadapi para nabi dan rasul sepanjang perjalanan spiritual mereka.

Karya Shobari menggabungkan dua hal itu, yakni simbol nyata (sajadah) dengan simbol-simbol transenden (bercak-bercak bekas terbakar).

Yudha menyebut, tema pameran dan waktu penyelenggaraan yang bertepatan dengan momentum Haul KH. Abdul Hamid mampu ditangkap seniman dengan baik.

Mereka berupaya menginterpretasikan tema yang telah disodorkan. Dengan mengoptimalkan daya estetika yang dimiliki, seniman menyuguhkan karya-karya yang relevan, variatif, dan bahkan, kata Yudha, mengejutkan.

“Dibanding yang Tawassul 2 kemarin, agak mainstream. Seni yang berbau religi selalu dianggap kaligrafi. Nah yang sekarang ini variatif, tidak hanya kaligrafi,” ujarnya.

Misalnya, karya Toni Ja’far yang berjudul Ba. Gagasan Toni Ja’far melukis dengan ide dasar makna huruf ‘ba’ serta jumlah huruf ‘ba’ dalam Al Quran, menurut Yudha, memiliki keunikan tersendiri.

“Sebagaimana dinyatakan Muhammad Utsman al-Mirghani dalam karyanya Taj al-Tafasir li Kalam al-Malik al-Kabir, isi seluruh ayat Al Quran terhimpun dalam surah al-Fatihah; kandungan al-Fatihah terangkum dalam penggalan basmalah; sedang basmalah terhimpun dalam huruf ba’ (yang dibaca bi),” demikian tulis Toni Ja’far dalam catatan karyanya.

Yudha mengatakan, pameran ini menggabungkan tiga hal, yakni kesenian, spiritual, dan kultur pesantren. Ketiga hal ini membentuk kombinasi ungkapan alternatif seniman dalam mengenang dan menteladani KH. Abdul Hamid.

Seniman, kata Yudha, berupaya menciptakan karya seni berlandaskan pendekatan spiritual. Karya itu menjadi manifestasi terhadap apa-apa yang diyakini memberikan cinta, kebaikan, kerinduan, kedamaian, keindahan, serta panduan untuk menuju jalan yang benar.

izinkan saya gandolan serbanmu, Yai
agar terbangun dari kelalaian
sebab cahaya membangunkan malam
yang tidur di kelopak mata saya

Demikian tulis Kedung Darma Romansha pada bait terakhir puisinya yang berjudul Gandolan Serban Kiai Hamid. (asd

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.