Lumajang (WartaBromo.com) – Proyek pengembangan dan modernisasi Pabrik Gula (PG) Djatiroto PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI yang terintegrasi dengan Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC) pada 2016 mangkrak. Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri kini tengah menyelidiki dugaan korupsi dalam proyek tersebut.
Menurut Kombes Arief Adiharsa, Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi (Wadirtipikor) Bareskrim Polri, proyek ini merupakan bagian dari program strategis BUMN yang didanai oleh Penyertaan Modal Negara (PMN) dalam APBN-P 2015, dengan nilai kontrak mencapai Rp 871 miliar.
“Proyek ini adalah bagian dari program strategis BUMN yang didanai oleh PMN dalam APBN-P 2015,” ujar Arief dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (13/8/2024).
Arief menjelaskan bahwa dalam proses perencanaan, pelelangan, pelaksanaan, serta pembayaran proyek, ditemukan adanya pelanggaran hukum yang mengakibatkan proyek tersebut belum selesai dan diduga menimbulkan kerugian negara.
“Penyidik telah mengirimkan surat ke BPK untuk permintaan penghitungan kerugian negara dan hingga saat ini belum ada penetapan tersangka,” tambahnya.
Dalam penyelidikan, ditemukan fakta bahwa anggaran proyek tidak tersedia sepenuhnya sesuai dengan nilai kontrak hingga kontrak ditandatangani.
Selain itu, Direktur Utama PTPN XI dengan inisial DP dan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PTPN XI dengan inisial AT diduga merencanakan dan berkomunikasi intens untuk meloloskan KSO Hutama-Eurrosiatic-Uttam sebagai penyedia proyek konstruksi tersebut.
“Panitia lelang tetap melanjutkan lelang meskipun prakualifikasi hanya satu, PT WIKA, yang memenuhi syarat. Sedangkan KSO Hutama-Eurrosiatic-Uttam dan 9 perusahaan lainnya tidak lulus,” ungkap Arief.
Lebih lanjut, Arief menjelaskan bahwa kontrak perjanjian proyek diubah dan tidak sesuai dengan rencana kerja syarat-syarat (RKS), termasuk penambahan uang muka 20 persen dan pembayaran letter of credit (LC) ke rekening luar negeri. Tahapan pembayaran procurement diduga menguntungkan penyedia tanpa mengikuti proses Good Corporate Governance (GCG).
Menurutnya, kontrak perjanjian ditandatangani tidak sesuai dengan tanggal yang tertera karena masih dalam kajian hingga Maret 2017. Proyek ini juga dikerjakan tanpa adanya studi kelayakan, dan jaminan uang muka serta jaminan pelaksanaan tidak pernah diperpanjang.
“Proyek ini dikerjakan tanpa studi kelayakan. Jaminan uang muka dan jaminan pelaksanaan expired dan tidak pernah diperpanjang. Metode pembayaran barang impor atau letter of credit tidak wajar,” tutup Arief. (saw)