Karnaval Seksi Pasukan Jedag Jedug

967

Kulit sawo matang rakyat NKRI yang sering kali diejek, telah sejajar dengan glowingnya kulit plastik oppa-oppa Korea. Bukankah kulit putih bersih merupakan salah satu indikasi kemakmuran? Semakin putih kemerahan oleh kikisan skin care, semakin sejajarlah kita dengan orang-orang di negara maju seperti Korea dan Jepang.

Oleh : Abdur rozaq

Karnaval seksi Sound System Horeg
agustusan kali ini, memang tak membuat Mahmud Wicaksono terhibur. Namun, andernalin sekaligus –mohon maaf—hormon itunya, bergelora semangat 45. Saat masih kecil dulu, karnaval agustusan biasanya menampilkan parade kostum para pejuang, teaterikal perang melawan penjajah, atau setidaknya adegan lucu.

Namun mungkin seperti kata orang, buat apa mengingat-ingat masa lalu, buat apa mengenang sejarah lama? Sekarang zamannya madzhab viral dan sekte trending topic. Jadi apapun, tolak ukurnya ya viralitas itu. Apalagi semua orang sudah menjadi semacam wartawan. Meski bukan konten kreator, apa saja difoto, divideokan atau di-selfie-kan.

Nah, beberapa tahun terakhir ini, karnaval agustusan selalu membuat Mahmud Wicaksono gembira. Pasalnya, kegemarannya terhadap hal-hal yang berbau tabu, semakin mudah ia dapatkan. Hal-hal seperti itu, kini mendapat izin untuk ditampilkan secara publik. Saat kecil hingga remaja dulu, sangat sulit mendapat kesempatan untuk melihat hal-hal menggiurkan dari bagian tubuh perempuan. Mereka yang barbar, akan bergerilya mencari spot paling rahasia untuk menyaksikan keindahan mendebarkan itu di pinggir-pinggir sungai atau kamar mandi para tetangga.

Beberapa dekade kemudian, perjuangan untuk mendapatkan pemandangan mendebarkan begitu, harus melalui perjuangan keras menyewa VCD bajakan. Untungnya, kini kegemaran Mahmud Wicaksono yang nomor satu ini sudah bisa disaksikan secara legal, mendapat izin peradaban, bahkan nilai agama seakan kehilangan tenaga untuk bersuara.

Lha bagaimana tidak, wong ibu-ibu mengizinkan anak gadisnya ikut karnaval bohai seraya ber-DJ asyik di belakang truk sound system horeg. Para suami bangga bodi bohai istrinya membuat air liur para lelaki berlelehan.

Para ayah memvideokan anak gadisnya bergeyal-geyol sepanjang jalan. Para pemuda, bisa jadi mengunggah video tersebut ke aplikasi kencan berbayar. Geyal-geyol bohai bahenol dengan mengibarkan gemerlap betis bahkan paha, sudah disepakati masyarakat sebagai keindahan yang beradab. Bahkan, merupakan cara menghargai keindahan betina, eh wanita sebagai mahakarya.

Mahmud Wicaksono yang istrinya tidak terlalu glowing, karena anggaran membeli skin care selalu kalah dengan anggaran membeli beras, sangat bahagia dengan karnaval-karnaval bohai semacam ini. Gemerlap betis para remaja, ibu-ibu dan STW yang diblow up demi memeriahkan karnaval kemerdekaan, merupakan salah satu tanda nasionalisme.

Lagi pula, kulit sawo matang rakyat NKRI yang sering kali diejek, telah sejajar dengan glowingnya kulit plastik oppa-oppa Korea. Bukankah kulit putih bersih merupakan salah satu indikasi kemakmuran? Semakin putih kemerahan oleh kikisan skin care, semakin sejajarlah kita dengan orang-orang di negara maju seperti Korea dan Jepang.

Semakin kulit nampak licin seperti dibaluri minyak goreng, makin setaralah kita dengan bangsa plastik semenanjung Korea sana. Bekas borok dan koreng, sebisa mungkin harus dihapuskan dari kulit para generasi muda NKRI. Salah satu caranya, jangan sampai ada generasi penerus yang berprofesi sebagai petani. Generasi petani harus diputus karena membuat kulit gelap, proyek impor beras tersaingi dan kutukan rhomusa belum juga berakhir hingga kini. Nah, karnaval bohai geyal-geyol ini, merupakan wujud rasa syukur atas pencapaian itu semua.

Belum lagi, edukasi dari karnaval bohai ini begitu urgent bagi gen z Indonesia Raya. Misalnya, edukasi bagaimana cara membuat konten Toktik yang profesional. Para bocah dan balita, diberi tutorial bagaimana koreografi goyang dombret yang jos gandos agar kualitas konten mereka lebih profesional di medsos. Jika kelak dewasa, barangkali ada di antara para bocah dan balita itu yang menjadi pemimpin, lalu membangun sektor pariwisata seperti di Pattaya Thailand atau Las Vegas sekalian. Itu tak menutup kemungkinan, karena UU tentang aborsi dan penjualan alat kontrasepsi kepada pelajar dan remaja kan sudah disahkan?

Tapi lain dengan Wak Takrip yang pernah hidup di masa penjajahan Jepang. Wak Takrip, berkali-kali mengelus dada sekaligus mengelus bagian bawah sarungnya selama menyaksikan karnaval bohai DJ horeg itu.

“Untungnya Jepang sudah pergi. Kalau zaman dulu, pasti akan diculik dijadikan Jugun Ianfu,” gumamnya seraya mengelap air liurnya yang hendak menetes.

“Zaman sekarang tak perlu menculik, Wak. Malah menawarkan diri untuk dibawa lari,” celetuk Cak Sueb pemilik warung kopi.

Bunyi suara musik DJ yang menggelegar itu, membuat semua orang bergembira dan bersemangat. Dalam hati, mungkin banyak orang bangga dengan pencapaian NKRI. Alangkah gempitanya perayaan agustusan. Alangkah semarak dan mahalnya perayaan hari kemerdekaan NKRI. Siapa bilang negara ini paceklik dan banyak hutang? Siapa bilang negara ini jatuh miskin oleh ketidakpastian ekonomi global? Ini lho buktinya. Memperingati hari kemerdekaan saja, rakyat sanggup menyewa sound system puluhan juta, menyawer para biduan bahkan membeli khomer untuk dinikmati sepanjang jalan karnaval.

Mahmud Wicaksono membathin, semoga tidak ada orang fanatik yang keberatan dengan karnaval bohai seperti ini. Lihatlah, kebohaian para Kartini Nusantara tak kalah menggiurkannya dengan wanita lain dari belahan dunia sana. Ini kerifan lokal, sejak zaman dulu wanita Nusantara telah terbiasa memakai kemben dan jariknya terangkat jauh di atas betis. Perkara Ken Arok membunuh Tunggul Ametung gara-gara melihat betis bersinar Kendedes, itu hanya kesalahan oknum. Nusantara ini wilayah tropis, jadi sudah wajar orang mengenakan pakaian terbuka.

Maka, pawai bohai di belakang truk sound system horeg ini begitu trending beberapa tahun terakhir. Bahkan dalam pawai kali ini, hampir semua pedukuhan mengirim duta terbohainya sebagai peserta karnaval. Puluhan truk berisi sound system horeg merambat pelan di jalan desa yang sudah retak-retak meski baru saja diperbaiki menggunakan dana desa. Para bocah dan balita ikut bergoyang, menirukan para peserta karnaval yang pangling karena telah dirias di salon. Semua penonton gembira, lupa jika beberapa puluh tahun lalu, darah kakek buyut mereka tumpah di jalan ini saat mengusir para penjajah.
Sementara di pojok warung Cak Sueb, Gus Karimun berlinangan air mata seraya komat-kamit membaca fatihah.

Beberapa menit yang lalu, dengan sangat nyata, Jenderal Soedirman rawuh dengan wajah sedih. Ah, mungkin itu hanya jin sungai yang pura-pura menyerupai Jenderal Soedirman.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.