“Orang harus menjalani kehidupan dengan anggapan bahwa tiap suara yang dibuatnya kedengaran, dan tiap gerak, kecuali dalam gelap, diamati dan diperiksa cermat; dan memang itulah yang terjadi, berkat kebiasaan yang menjadi insting…”
Oleh: Amal Taufik*
Narasi kalimat diatas ditulis George Orwell dalam karyanya yang berjudul 1984. Jika Anda pernah membaca karya tersebut, maka tentu Anda tidak asing dengan istilah teleskrin. Novel yang diterbitkan pada tahun 1949 itu berkisah tentang sebuah negara distopia dengan penguasa totaliter.Orwell menggambarkan seluruh aktivitas masyarakat di sana, baik di ruang privat atau ruang publik, tak pernah luput dari pantauan penguasa.
Alat yang digunakan penguasa untuk memantau masyarakat selama 24 jam itu bernama teleskrin. 1984 adalah satire tajam dari Orwell. Dalam novel itu Orwell juga menciptakan sosok ‘polisi pikiran’ yang mampu menyadap setiap pikiran warganya. Artinya, warga tidak hanya diawasi gerak dan suaranya saja melalui teleskrin, bahkan negara bisa menyadap pikiran warganya. “Polisi Pikiran toh bisa menyadap dari kabel pikiranmu kapan pun mereka mau…”
Memang itu adalah cerita fiksi. Namun membayangkan hidup dengan diawasi teleskrin selama 24 jam adalah perkara yang merepotkan. Warga negara tidak akan merasakan kebebasan apapun. Negara memegang kendali penuh atas warganya. Warga tidak punya pilihan selain tunduk dan bersikap sesuai keinginan penguasa. Setiap dinding rumah terdapat tulisan seperti dalam novel: “Bung Besar Mengawasi Anda.”
Saya tiba-tiba teringat teleskrin Orwell ini setelah ramai wacana pembahasan revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran (RUU Penyiaran 2024). Rencana pembahasan RUU Penyiaran oleh DPR RI ini menuai penolakan dari berbagai komunitas pers karena dianggap berpotensi memberangus kebebasan pers.
Beberapa isi RUU Penyiaran yang kontroversial yakni pada pasal 42 ayat (2) tentang penyelesaian sengketa pers melalui Komisi Penyiaran Indonesia dan bukan Dewan Pers. Pasal 50B ayat 2 huruf (c) tentang larangan penayangan karya jurnalistik investigasi. Kemudian pasal 50B ayat 2 huruf (k) yang mengatur soal larangan konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik.
Beberapa hal di atas memang merupakan persoalan. Pertama, bertentangan dengan UU Pers yang menjamin kebebasan pers. Kedua, jika pasal-pasal di atas diberlakukan, rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi jika tidak ada definisi yang jelas tentang, misalnya, apa itu penghinaan dan apa itu pencemaran nama baik.
Sampai saat ini kita masih belum selesai dengan “hantu” UU ITE. Kebebasan warga sipil untuk menyatakan pendapat kerap dibenturkan dengan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik di UU ITE. Kasus Haris Azhar-Fatia dengan Luhut Binsar Panjaitan dan kasus pemidanaan aktivis Karimun Jawa adalah dua contoh terakhir.
RUU Penyiaran dibuat dengan semangat adaptasi lembaga penyiaran terhadap perkembangan teknologi, juga mengatur platform penyiaran digital. Platform digital yang sangat luas dan kompleks, bagaimanapun, membutuhkan regulasi komperehensif dan adil. Namun regulasi seyogyanya dibuat untuk kepentingan bersama. Ia menjamin keamanan dan perlindungan ruang digital sekaligus tetap menjamin kebebasan berekspresi.
Jika melihat beberapa pasal yang jadi sorotan, RUU Penyiaran tampak seolah ingin membuat “teleskrin” yang mengekang kebebasan berekspresi. Di sisi lain, RUU Penyiaran juga hendak memperluas kewenangan KPI hingga masuk ke wilayah Dewan Pers alias bakal tumpang tindih dengan UU Pers.
Menurut saya ini karena RUU Penyiaran tidak membuat definisi yang jelas. Apakah sama konten siaran yang dihasilkan wartawan dengan konten siaran yang dihasilkan konten kreator? Di channel Youtube, misalnya, orang bisa bebas bicara sambil melontarkan kata-kata yang, jika disiarkan di TV, pasti kena sensor, hingga merokok. Apakah KPI bisa menegur pemilik channel Youtube? Lalu bagaimana dengan Youtube itu sendiri? Belum lagi bicara konvergensi media. Saat ini ada media cetak dan online yang sudah merambah ke konten video dan radio streaming. Apakah mer hieka ini juga masuk sebagai lembaga penyiaran swasta (LPS) sebagaimana TV dan radio? Lalu bagaimana aplikasi layanan streaming seperti Spotify, Netflix, Vidio, dan aplikasi serupa lainnya?
Kemudian sekarang media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok juga bisa melakukan siaran streaming. Ada media massa yang memanfaatkan fitur tersebut untuk melakukan siaran. Bagaimana posisi siaran melalui media sosial ini? Apakah sama seperti platform lainnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu tentu harus dijawab RUU Penyiaran. Maksud saya perlu ada definisi yang jelas tentang apa itu media konvensional, media sosial, media digital, media baru, serta batasan-batasannya. Pasal 34B RUU Penyiaran hanya menyebutkan bahwa ruang lingkup platform digital penyiaran meliputi layanan siaran suara atau layanan siaran suara gambar. Ruang lingkup ini apakah berarti mencakup semua jenis konten—siaran suara dan siaran suara gambar?
Definisi yang jelas akan memberikan batasan yang jelas pula, sehingga rezim hukum yang diterapkan pun berbeda. Apabila wilayah pers, maka penyelesaian sengketa diserahkan ke Dewan Pers sebagaimana mandat UU Pers, bukannya ke KPI. Rupanya DPR RI tidak menggunakan UU Pers sebagai acuan dalam menyusun RUU Penyiaran.
F. Budi Hardiman (2021) menyebut ada empat peran hukum modern di era pasca-kebenaran seperti sekarang. Pertama, hukum modern berperan dalam menata kompleksitas masyarakat yang dimediasi secara digital. Kedua, sarana menyelesaikan konflik-konflik tindakan yang dimunculkan lewat komunikasi digital.
Ketiga, hukum modern hasil legislasi demokratis berperan sebagai penjamin akal sehat publik. Keempat, hukum modern bermuara pada satu hal, yakni berfungsi sebagai sabuk pengaman demokrasi.
Mengacu apa yang diungkapkan F. Budi Hardiman, revisi regulasi penyiaran sebagai produk hukum modern seharusnya berlandaskan pada posisinya sebagai penjamin akal sehat publik dan sabuk pengaman demokrasi. Larangan penayangan karya jurnalistik investigasi dan larangan konten bermuatan penghinaan dan pencemaran nama baik—yang definisinya rawan multi-interpretasi—justru bakal memberangus demokrasi.
Selain itu yang lebih substansial adalah bahwa pers merupakan pilar keempat demokrasi. Pers berfungsi sebagai watchdog atau anjing penjaga yang mengawasi jalannya kekuasaan. Sikap alergi terhadap jurnalistik investigasi menunjukkan keinginan DPR untuk mendomestikasi sang ‘anjing penjaga’. Jika demikian, maka benar pula apa yang dikatakan Marx bahwa negara memungkinkan kelas atas untuk memperjuangkan kepentingan khusus mereka sebagai “kepentingan umum”.
Akhirnya, kita tentu tidak berharap RUU Penyiaran ini menyerupai “teleskrin” Orwell. Kebebasan berekspresi, berpendapat, keterbukaan informasi adalah syarat mutlak demokrasi. Masyarakat memiliki hak untuk memperoleh informasi dan meningkatkan pengetahuan dari pers yang kredibel lewat karya-karya jurnalistik investigasi. Apabila ini diberangus, maka sulit berharap ada mekanisme check and balances, dan dengan demikian demokrasi menjadi cacat.
*Penulis adalah Jurnalis Wartabromo