Oleh: Amal Taufik
JOKO Anwar membuka tahun 2024 dengan Siksa Kubur (2024). Sebuah sajian horor yang barangkali jauh dari imaji film horor Indonesia pada umumnya. Alih-alih tontonan menyeramkan, Siksa Kubur justru tampil sebagai diskursus filosofis tentang “yang terjadi” setelah kematian.
Siksa Kubur dibuka dengan peristiwa tragis yang dialami Sita (Faradina Mufti) dan Adil (Reza Rahadian) semasa kecil. Dua protagonis ini menyaksikan orang tuanya tewas terkena ledakan bom bunuh diri di depan toko roti mereka.
Sebelum meledakkan bom, pelaku sempat masuk ke toko roti dan memberikan kaset pita kepada Adil. Kaset itu berisi sebuah rekaman suara yang dipercayai adalah raungan orang-orang yang disiksa di dalam kubur.
Rekaman itulah yang mendorong pelaku melakukan bom bunuh diri. Siksa kubur itu nyata, kata pelaku. Oleh karenanya, ia ingin mati di jalan Tuhan.
Peristiwa tragis yang terjadi itu akhirnya membawa si protagonis berambisi membuktikan bahwa siksa kubur tidak nyata. Selain itu, insiden bom bunuh diri menyebabkan Sita skeptis terhadap ajaran agama.
Lalu bagaimana cara membuktikan siksa kubur itu tidak nyata? Sita dan Adil menempuh cara dengan masuk ke dalam liang lahat seseorang yang mereka anggap pendosa besar lalu merekam kejadian yang ada di dalamnya.
Hampir di separuh awal, film berisi dialog tentang narasi, dogma, dan konsep keagamaan tentang siksa kubur. Skrip dialognya solid, juga sama sekali tidak terjebak ala ceramah religi–menggurui.
Misalnya, seperti pertanyaan jika manusia disiksa secara fisik, bukankah fisik manusia sudah mati? Siksaan fisik terhadap orang mati tidak akan menyebabkan sakit. Atau seandainya jasad yang mati adalah seorang masokis, bukankah dia malah senang mengalami siksaan?
Sajian seperti ini tentu akan menantang penonton yang berekspektasi mendapat teror atau kemunculan hantu-hantu sejak awal. Teror dan hantu bukannya tidak muncul di awal, keduanya muncul, tapi tidak berdampak dibanding suguhan perdebatan kritis dari Joko Anwar yang mengusili nalar.
Dan ketika Joko Anwar meluncurkan amunisi horornya, ia bak seorang pawang yang sengaja membuka kantong berisi ular lalu melepaskannya di hadapan orang banyak.
Kengerian demi kengerian muncul secara beruntun. Penonton dibuat tidak tenang. Adegan-adegan sarat gore meneror kenyamanan menonton.
Salah satu adegan yang membuat saya masih terngiang, bahkan sampai film selesai, adalah saat Christine Hakim bersama mesin cuci. Saat menonton adegan itu, jujur saja, mata saya sambil merem.
Melalui Siksa Kubur, Joko Anwar berupaya membawa film horor Indonesia naik level. Ia mengeksplorasi metafisika dengan jalan yang tidak gampang. Apalagi membawa pemahaman agama. Tentu jika ada yang ‘offside‘ satu langkah saja, nasibnya bisa seperti film-film lain yang pernah dicekal.
Tapi Joko Anwar menampilkan cerita dengan porsi yang pas serta dibarengi penokohan karakter yang kuat. Faradina Mufti tampil sebagai perempuan ambisius, rasional, skeptis. Saat kamera berkali-kali menyorot wajahnya, ia menghidupkan sosok perempuan yang penuh curiga, tidak bertele-tele, yang tidak takut pada apapun dan siapapun.
Sementara sebaliknya, Reza Rahadian lebih sebagai laki-laki traumatik yang selalu memendam ketakutan. Di sini akting Reza Rahadian sangat apik menggambarkan pria yang punya “pengalaman buruk” masa kecil.
Ditambah jajaran pemeran senior seperti Slamet Raharjo, Christine Hakim, Arswendy Bening Swara, hingga Jajang C. Noer menjadikan Siksa Kubur sebagai horor next level.
Siksa Kubur pada akhirnya bukan soal membuat orang percaya eksistensi siksaan malaikat di liang lahat. Bagi saya, film ini lebih pada menyodorkan perjalanan spiritual. Perjalanan spiritual manusia biasa yang memiliki rasa skeptis, trauma, cinta, dan amarah. (asd)