Gempol (wartabromo) – Petirtan Belahan begitulah warga Dusun Belahan Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol, Pasuruan menyebutnya. Hampir setiap hari, warga di daerah sekitar menggantungkan kebutuhan air untuk keperluan hidup sehari-hari dari sumber mata air yang sudah ada sejak ratusan tahun silam.
Petirtan belahan atau yang biasa disebut dengan Candi belahan berdasarkan catatan sejarah merupakan peninggalan Prabu Airlangga anak dari Raja Udayana. Petirtan ini dibangun pada tahun 1009 Masehi atau pada masa Kerajaan Kahuripan. Memiliki lebar 5 x 5 meter, Petirtan atau Candi belahan dibuat dengan susunan batu bata merah kuno yang sampai sekarang masih utuh.
Hampir setiap hari, petirtan belahan tak pernah sepi dari orang yang hilir mudik membawa jurigen untuk mengambil air bagi keperluan sehari-hari. Air itu memancar dan menggenang tepat di bawah dua arca wanita yang merupakan perwujudan istri Prabu Airlangga yakni Dewi Sri dan Dewi Laksmi.
Arca yang melambangkan dewi kemakmuran ini sangat unik. Pasalnya, dua puting payudara arca Dewi laksmi memancarkan air yang mancur ke bawah. Seolah – olah, dari puting itulah, air itu berasal. Menurut warga, puting itu tak pernah mampet sedetik pun tapi terus mengalir sampai sekarang. Warga pun kerap menyebut petiran ini sebagai candi tetek yang bermakna puting payudara wanita.
Sudarmaji (60) warga setempat yang saat itu sedang duduk-duduk tak jauh dari lokasi petirtan saat ditemui wartabromo mengungkapkan, air petirtan belahan adalah sumber penghidupannya sejak ia masih kecil dan tinggal di Dusun setempat. Mulai dari mandi, minum dan juga mencuci pakaian. Bahkan saat ia sudah menginjak tua, air candi tetek masih menjadi andalannya untuk memenuhi kebutuhan air bagi keluarganya.
“Ya, cuma disini kita bisa minum dan mengambil air bersih,” ujar Sudarmaji.
Tak hanya itu, anak dan cucunya juga kerap bermain di komplek petirtan Belahan. Mereka berenang, main air sampai seharian penuh tanpa ada yang melarang, termasuk Alias (50) penjaga Petirtan yang bekerja untuk Balai Purbakala Trowulan, Mojokerto.
Petirtan Belahan memang berbeda dari Petirtan atau Candi Jolotundo yang letaknya di sisi barat pegunungan Penanggungan. Candi tetek masih sangat alami, tak pernah mengalami pemugaran bahkan tak pernah memberlakukan karcis atau tiket masuk bagi siapapun yang ingin berkunjung.
Lokasi petirtan yang terletak di ketinggian 700 meter dari permukaan laut (dpl) membuat suasananya cukup sejuk terutama saat terik matahari menerebos atmosfir bumi.
Petirtan ini memang seakan-akan dibuat untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga Desa Wonosunyo dan Desa – Desa di daerah sekitarnya. Mereka tidak pernah membayangkan, seandainya saja Prabu Airlangga tak pernah membuat petirtan ini.
“Mau cari air dimana lagi. Gak ada. Pemukiman warga letaknya ada di atas sumber mata air ini,”ujar Sudarmaji yang saat itu sedang sibuk bekerja memasang sambungan pipa dengan cara menggali terowongan di tebing sisi kiri komplek candi.
Dahulu kala, Candi Belahan atau Candi Tetek ini dibuat oleh Airlangga sebagai tempat mandi kedua permaisurinya yaitu Dewi Laksmi dan Dewi Sri. Di candi ini juga ada arca dewa wisnu yang menunggang burung garuda, namun kemudian arca yang dianggap merupakan perwujudan Airlangga tersebut diambil dan disimpan di museum purbakala Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Besarnya kebutuhan air bersih yang digantungkan oleh warga ke petirtan belahan ini membuat warga berinisiatif memasang pipa ledeng di tembok sisi kiri komplek candi. Pipa tersebut mengalirkan air cukup deras, jauh lebih deras dari air yang keluar dari kedua puting Dewi Laksmi.
Dari pipa itulah, warga kemudian mengambil air untuk keperluan air bersih setiap harinya melalui jurigen – jurigen yang diangkut dengan menggunakan sepeda motor maupun dipikul dengan pundaknya sendiri. Bahkan tak jarang, sambil mengambil air, mereka pun mandi di bawah grojogan air petirtan yang mengalir melalui pipa ledeng itu.
Sepintas saya pernah membayangkan, seandinya Prabu Airlangga masih hidup mungkin ia akan marah lantaran petirtan yang dibuat khusus untuk tempat mandi kedua permaisuri yang dicintainya tersebut digunakan oleh warga desa untuk mandi seperti itu. Terlihat bekas sisa sabun yang dipakai oleh warga masih menempel di kaki arca dewi sri.
Namun, pikiranku ternyata salah. Prabu Airlangga ternyata justru marah dan mengamuk jika petirtan yang dibuatnya tersebut tidak digunakan oleh warga untuk mandi maupun mengambil air bersih.
“Dulu sekitar tahun 1990-an, Pak Camat Gempol pernah memerintahkan agar petirtan ini dipagari dan warga dilarang mandi. Tapi anehnya, air menjadi surut bahkan habis. Saya kemudian bermimpi mendengar suara gaib agar patirtan ini harus digunakan oleh warga jika ingin mengalir lagi,” tutur Alias (50) sang juru kunci Petirtan Belahan.
Kini, petirtan belahan tak lagi menjadi pemandian permaisuri kerajaan seperti cita-cita awal melainkan telah menjadi pemandian umum warga desa yang dulu disebut rakyat biasa. Bahkan, tak hanya warga sekitar, melainkan juga warga dari berbagai daerah datang untuk ngalap berkah dari petirtan ini.
Huda, misalnya, warga asal Surabaya ini hampir setiap bulan menyempatkan diri datang ke petirtan belahan hanya untuk sekedar mandi saja. Pria yang sudah beranak cucu itu mengaku memiliki pengalaman kesehatan yang tak terlupakan selama hidupnya dengan mandi air petirtan ini.
“Saya selalu datang dan mampir ke sini untuk mandi. Sehat” ujarnya. (yog/yog)