Puspo (WartaBromo.com) – Tradisi Jamasan atau pencucian pusaka masih terus terpelihara di Desa Kemiri, Kecamatan Puspo, Kabupaten Pasuruan. Ritual itu, dilakukan setiap bulan Suro.
Jumat (21/7/2023) pagi, puluhan warga berkumpul di rumah Muhammad Jufri. Ia adalah pandai besi pembuat pusaka penganti generasi ke lima. Mereka yang datang, merupakan pemegang pusaka penganti.
Setiap orang berbeda-beda. Ada yang membawa satu, dua hingga puluhan pusaka. Mulai dari yang berbentuk pedang, celurit, pisau, cincin hingga liontin.
“Ini saya membawa puluhan. Ada yang titipan ada yang punya saya sendiri, ” kata Yudi, salah seorang pemegang pusaka penganti.
Pria yang berasal dari Pajarakan, Probolinggo itu mengaku, sudah empat kali datang untuk mengikuti ritual tersebut. Menurutnya, ia tertarik memiliki pusaka itu karena tidak ribet dan tidak banyak pantangannya.
“Tidak ribet, dan bisa berupa cincin atau liontin. Ini punya saya, ” katanya sambil menunjukan pusaka yang dibawa.
Yudi adalah salah seorang warga yang datang untuk mengikuti ritual tersebut. Selain dia, ada pula yang datang dari daerah cukup jauh. Seperti Madura, Kalimantan bahkan luar negeri seperti Korea dan Singapura. Tapi, untuk yang dari luar negeri hanya pusakanya saja yang datang dengan cara dipaketkan.
Sebelum ritual dilakukan, seluruh pusaka dikumpulkan ditempat penempaan. Jaraknya 10 meter dari kediaman Jufri. Di lokasi, sudah ada bunga, bubur putih dan tumpeng. Setelah kumpul semua, pandai besi berusia 57 tahun itu lantas tawasul kepada leluhurnya dan juga para ulama. Kemudian langsung dilakukan tahlilan.
“Ini untuk menyucikan pusaka. Jadi setelah setahun digunakan agar kembali bersih lagi, “katanya seusai ritual.
Kemudian satu persatu pusaka dibuka. Secara bergantian dimasukan ke dalam gentong yang telah diberikan bunga. Dilanjut dengan membasuh dengan minyak wangi. Proses itu, akan berlanjut hingga tanggal 10 Suro mendatang.
“Tidak cukup sehari. Ini nanti sampai tanggal 10 Suro. Mengingat ada ratusan pusaka” kata Junaedi anak pandai besi itu.
Ya, Junaedi merupakan penerus pandai besi Penganti. Ia selalu membantu bapaknya ketika sedang melakukan pembuatan pusaka. Tak heran, ia mengerti seruluh rangkaian proses.
“Yang punya kan ada yang dari luar negeri seperti Singapura, Malaysia, dan Arab Saudi. Ya, dipaketkan ketika jamasan, ” tandasnya.
Lima generasi, dibuat mulai 250 tahun lalu
Pusaka Penganti sudah dikenal luas oleh masyarakat. Utamanya, Pasuruan. Pusaka buatan seorang pandai besi asal Desa Kemiri, Kecamatan Puspo, Kabupaten Pasuruan itu memang dikenal memiliki keistimewaan tersendiri.
Pusaka yang dibuat dari besi aji itu, dipercaya membawa keselamatam bagi si pembawa pusaka. Sebab, pembuatannya tak sembarangan. Ada ritual khusus yang dilakukan oleh pandainya.
Abdul Majid, warga asal Desa Kepuh, Kecamatan Kejayan salah seorang pemegang pusaka tersebut mengatakan, ia secara tak sengaja membawa pusaka Penganti berbentuk pisau keacara resmi. Yang mana, dalam acara itu ada pengecekan yang dilakukan dengan metal detector.
Beberapa temannya, lolos dari pengecekan. Giliran dirinya, yang sudah adem panas karena membawa pusaka itu diperiksa. Saat itu metal detectoe berbunyi. Ia pun sudah gugup dan pasrah.
Tas yang di dalamnya berisi pusaka berbentuk pisau itu pun digeledah. Tapi, pisau tak terlihat oleh petugas. Sampai tiga kali pemeriksaan tapi tak ditemukan juga.
“Saya akhirnya berada dibelakang. Saya tidak maju. Memang nyata itu. Padahal jelas ada nggak terlihat, ” ungkapnya.
Muhammad Jufri, 57, pandai besi yang membuat pusaka tersebut mengatakan, memang pusaka buatannya telah banyak yang memakai. Dan meskipun berbentuk pisau, celurit dan pedang tidak digunakan untuk memotong. Itu, digunakan sebagai pusaka.
“Ada juga yang berbentuk liontin dan cincin. Kalau bentuknya memang kayat sajam ya. Tapi, tidak digunakan sebagai mana fungsinya. Karena ini pusaka, ” katanya saat ditemui.
Jufri sendiri merupakan generasi ke 5 pembuat pusaka itu. Pembuatannya turun temurun. Kisaran sudah 200 tahun lebih tetap terlestari. Menurutnya, pembuatan pusaka tak sembarangan.
Dalam sebulan, hanya tiga hari saja waktu pembuatan. Dan itu, tidak selalu berhasil. Tergantung jodoh si pemesan.
“Senin Pahing, Jumat Kliwon dan Jumat Pon. Hanya itu saja waktu membuat dalam sebulan. Dan itu, ada ritual khusus sebelum pembuatan. Salah satunya puasa dan patigeni, ” terangnya.
Selain itu, ada pantangan tersendiri. Seperti saat membuat tidak boleh bernafsu, tidak berbicara dan merapalkan solawat. Jika itu dilanggar, maka dipastikan pembuatan pusaka tidak akan jadi. “Nggak jadi. Pasti rusak atau patah ketika ditempa, ” katanya.
Pembuatannya tradisional
Pembuatan pusaka penganti, sejak ratusan tahun lalu hingga kini tetap tradisional. Bukannya tak mau beralih ke yang lebih modern, tapi karena memang tak bisa dimodernisasi.
Junaedi mengaku, sudah sempat memodernisasi pembuatan pusaka itu. Seperti peniup tungku dengan kompresor, pengahalus besi dengan mesin penghalus. Semuanya rusak dan tak bisa digunakan.
“Sudah kami coba. Tapi rusak terus. Baru beli gitu dicoba langsung rusak, ” ungkapnya.
Ia menambahkan, itu bukan sekali. Beberapa kali ia coba hasilnya tetap sama. Alhasil, ia tak lagi mencoba dan meneruskan dengan alat-alat peninggalan leluhutnya. “Ya mau bagaimana lagi. Ya ini sudah yang dilakukan, ” tuturnya.
Sementara itu, Muhammad Jufri menjelaskan tentang pembuatan pusaka dari awal mulai. Menurutnya yang pertama membuat itu adalah buyutnya yang bernaa Mbah Latip, ia kala itu membuat keris. Tapi, tak sampai selesai. Keris kemudian dilanjut oleh Mbah Darhim anaknya. Baru keris bisa terselesaikan. Dengan total pembuatan sekitar 7 tahun.
“Itu satu-satunya keris yang dibuat. Sampai sekaramg tidak membuat keris lagi, ” terangnya.
Sepeninggal Mbah Darhim pembuatan pusaka diteruskan oleh Mbah Suhena Marham, dilanjutkan oleh anaknya Mbah Nalem dan turun kepadanya. “Kalau sampai ke saya ya sudah lima turunan. Ini sampai sekarang saya masih buat, ” ungkapnya. (don/syi)