Pasuruan (WartaBromo.com) – Saat menuaikan Ibadah puasa di bulan Ramadan ada salah satu hal yang disunnahkan yaitu, melakukan i’tikaf. I’tikaf adalah kegiatan berdiam diri di dalam masjid dengan cara berniat tertentu.
Anjuran i’tikaf dalam menuaikan ibadah puasa di bulan Ramadan lebih ditekankan pada sepuluh hari terakhir. Sebab, waktu-waktu tersebut lebih potensial untuk meraih malam Lailatur Qadar.
Berbicara soal i’tikaf perlu diketahui penyebab batalnya melakukan i’tikaf. Dilansir dari NUOnline ada beberapa hal penyebab batalnya i’tikaf, yakni:
1. Gila
Gila atau gangguan kejiwaan dapat membatalkan i’tikaf. Gangguan Jiwa yang menjadikan seseorang tidak dapat mengendalikan diri, sehingga hal itu tidak memenuhi kualifikasi orang yang dinyatakan sah i’tikafnya.
Akan tetapi, ada beberapa catatan bahwa kondisi gila bila tidak ada unsur keteledoran, maka tidak membatalkan I’tikaf, jika orang tersebut tidak di keluarkan dalam masjid. Namun, ada kondisi gila dapat membatalkan I’tikaf bila karena keteledoran, misalnya mengkonsumsi obat yang membuatnya gila.
2. Pingsan
Pingsan juga bisa membatalkan I’tikaf. Selan itu, pingsan karena mengkonsumsi obat-obatan tertentu, sebab keteledoran pelaku juga dapat membatalkan I’tikaf.
Syekh Khathib al-Syarbini dalam kitab kitab Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal. 196 juga dijelaskan sebagaimana berikut.
(وَلَوْ طَرَأَ جُنُونٌ أَوْ إغْمَاءٌ) عَلَى الْمُعْتَكِفِ (لَمْ يَبْطُلْ مَا مَضَى) مِنْ اعْتِكَافِهِ الْمُتَتَابِعِ (إنْ لَمْ يُخْرَجْ) بِالْبِنَاءِ لِلْمَفْعُولِ مِنْ الْمَسْجِدِ؛ لِأَنَّهُ مَعْذُورٌ بِمَا عَرَضَ لَهُ …إلى أن قال…..أَمَّا لَوْ طَرَأَ ذَلِكَ بِسَبَبٍ لَا يُعْذَرُ فِيهِ كَالسُّكْرِ فَإِنَّهُ يَنْقَطِعُ اعْتِكَافُهُ كَمَا نَقَلَهُ فِي الْكِفَايَةِ عَنْ الْبَنْدَنِيجِيِّ فِي الْجُنُونِ، وَبَحَثَهُ الْأَذْرَعِيُّ فِي الْإِغْمَاءِ
Artinya: “Bila baru datang gila atau pingsan atas orang yang beri’tikaf, maka tidak batal i’tikaf yang telah lewat yang dilakukan secara berkelanjutan, bila ia tidak dikeluarkan dari masjid, karena dimaklumi atas kondisi baru datang yang dialami. Adapun jika hal tersebut terjadi dengan sebab yang tidak dimaklumi, seperti mabuk, maka terputus i’tikafnya seperti yang dikutip Imam Ibnu Rif’ah dalam kitab al-Kifayah dari al-Bandaniji dalam persoalan gila, dan dibahas oleh Imam al-Adzra’i dalam kasus pingsan.”
3. Bersentuhan Kulit dengan Syahwat
Bersentuhan kulit dengan syahwat dapat membatalkan I’tikaf bila tiba-tiba mengeluarkan sperma. Ketentuan hukum ini berdasarkan analogi (qiyas) kepada persoalan puasa.
Syekh Jalaluddin al-Mahalli, dalam kitab Kanz al-Raghibin, juz 2, hal. 98 mengatakan:
ـ (وَأَظْهَرُ الْأَقْوَالِ أَنَّ الْمُبَاشَرَةَ بِشَهْوَةٍ) فِيمَا دُونَ الْفَرْجِ (كَلَمْسٍ وَقُبْلَةٍ تُبْطِلُهُ إنْ أَنْزَلَ وَإِلَّا فَلَا) كَالصَّوْمِ وَالثَّانِي تُبْطِلُهُ مُطْلَقًا لِحُرْمَتِهَا وَالثَّالِثُ لَا تُبْطِلُهُ مُطْلَقًا
Artinya: “Di antara pendapat-pendapat, yang paling jelas (kuat) adalah bahwa bersentuhan kulit dengan syahwat di bagian selain vagina, seperti memegang dan mencium, dapat membatalkan i’tikaf bila keluar sperma, jika tidak demikian, maka tidak membatalkan, seperti persoalan puasa. Menurut pendapat kedua, tidak membatalkan secara mutlak. Menurut pendapat ketiga, tidak membatalkan secara mutlak.”
4. Keluar dari Masjid tanpa Uzur
Keluar masjid dapat membatalkan kegiatan melakukan I’tikaf bilan tanpa uzur yang mendesak. Sedangkan, ada sebab udzur seperti halnya, hendak BAK, ingin BAB, makan atau minum yang tidak dapat dilakukan di dalam masjib maka I’tikafnya tetap sah.
Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri menjelaskan:
وَالْخُرُوْجُ مِنَ الْمَسْجِدِ بِلَا عُذْرٍ وَكَذَا لِإِقَامَةِ حَدٍّ ثَبَتَ بِإِقْرَارِهِ أَمَّا الْخُرُوْجُ لِعُذْرٍ كَالْأَكْلِ وَالشُّرْبِ الَّذِيْ لَا يُمْكِنُ فِي الْمَسْجِدِ وَقَضَاءِ الْحَاجَةِ وَالْحَدَثِ الْأَكْبَرِ فَلَا يَضُرُّ
Artinya: “Dan (di antara yang membatalkan i’tikaf) adalah keluar dari masjid tanpa udzur, demikian pula karena menegakan hukuman yang ditetapkan berdasarkan pengakuannya. Adapun keluar karena udzur, seperti makan dan minum yang tidak mungkin dilakukan di masjid, memenuhi hajat dan (menghilangkan) hadats besar, maka tidak bermasalah.” (Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, hal. 313). (tra/trj)