Disrupsi Kreatif Teater Pasuruan

522

 Era post modern berpengaruh signifikan hingga mengalami ‘disrupsi’ kreativitas: adanya perubahan, perombakan, penghancuran tatanan kreativitas yang sudah lama esensial dengan kreativitas yang lebih enteng dan menggiurkan.

Oleh: Yudha Prihantanto*

Lebih dari satu abad yang lalu, Institut Teater Internasional (ITI) membuat rumusan bahwa teater merupakan media perdamaian. Rumusan tersebut dibacakan oleh Jean Cocteau pada tanggal 27 Maret 1961. Pesan yang dibacakan Jean Cocteau itu kemudian dicetak dan digandakan massal lebih dari 50 bahasa dan dibacakan oleh berbagai institusi, komunitas, penonton, dan seniman teater di seluruh dunia. Semua menyerukan bahwa teater adalah sarana sekaligus simbol dari perdamaian dunia.

Teater memang bukan sekadar media hiburan. Lebih dari itu, seni pertunjukan ini menjadi media propaganda bahkan kritik sosial. Begitu pula teater di kota tercinta ini, dengan berbagai versi asal mula hadirnya teater di Pasuruan Raya.
Ada nama-nama teater yang menjadi cikal bakal pergerakan seni teater. Sebut saja Teater Dr.im, Teater Cuci Otak yang sekarang berkembang menjadi sanggar seni Cuci Otak Rahmat Alam, dan Teater Manunggal. Pergerakan teater menjadi sporadis tatkala masing-masing pelaku teater pendahulu turun mencari generasi lewat teater telajar.

Upaya ini membuahkan hasil dengan terbentuknya beberapa komunitas teater yang sampai sekarang semakin bertebaran khususnya ditingkat SMP, SMA sederajat, perguruan tinggi sampai kalangan umum.

Kiprah teater di Pasuruan selama dua dekade ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada tahun 2010, Pasuruan mewakili Indonesia dalam perhelatan internasional melalui delegasinya yaitu Teater Cuci Otak. Pada tahun-tahun itulah pergerakan kesenian teater di Kota Pasuruan berada di masa kejayaannya. Di tingkat teater pelajar sudah memiliki banyak anggota dan prestasi yang membanggakan. Teater di Pasuruan kerap menjadi penyaji atau nominasi terbaik, menjadi langganan dalam event lokal, provinsi bahkan nasional.

Namun dalam perjalanan lima tahun terakhir, perteateran di Pasuruan mengalami keadaan kritis. Era post modern berpengaruh signifikan hingga mengalami ‘disrupsi’ kreativitas: adanya perubahan, perombakan, penghancuran tatanan kreativitas yang sudah lama esensial dengan kreativitas yang lebih enteng dan menggiurkan.

Kecanggihan hiburan berbasis teknologi telah menghegemoni. Ini menjadikan kesenian kontradiktif dalam sebuah proses panjang nan mahal yang telah didedikasikan oleh pelaku teater di segala aspek dan lapisan masyarakat.

Tentu fenomena tersebut bukan satu-satunya dalih bersembunyi dari ketakberdayaan kreatif pelakunya, sehingga khittah teater sebagai media pemersatupun harus rela tergeser. Ditambah situasi politis pemerintahan yang kurang mengapresiasi pendayagunaan pelaku seni teater dalam tiap giat pemerintahan. Meski tidak semua giat harus melibatkan pelaku seni, namun bukankah bertani idealnya berbanding lurus dengan hasil panen. Walhasil di era ini lengkaplah sudah episode panjang penderitaan dalam skenario perjuangan putra daerah di tanah leluhur.

Pada momentum hari teater dunia (hatedu) yang bertepatan pada kemarin hari senin tanggal 27 maret 2023, tampak geliat yang tak biasa dalam perteateran di Pasuruan. Peringatan hatedu tersebut dikemas sederhana, unik, santai dan menarik dengan melakukan perform art, pantomime, baca puisi, dan membagikan snack dilengkapi stiker ucapan hari teater dunia.

Menariknya lagi, aksi tersebut dilakukan oleh kelompok yang mengidentitaskan dirinya ‘teater Dingkleg’ berasal dari SDN Tambaksari, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Komunitas yang baru terbentuk kurang dari satu bulan tersebut seakan menjadi cambuk bagi pelaku teater lama, dan khususnya, pelaku seni di wilayah Kota Pasuruan.

Aksi teater anak dalam memperingati hari teater dunia bisa dikatakan langka, karena pada umumnya teater mayoritas paling bawah ditingkat SMP. Apalagi sampai melakukan aksi sebagai bentuk peduli dan apreasiasi pada kesenian. Peristiwa yang digagas pembina teater tersebut mendapat dukungan sepenuhnya mulai dari kepala sekolah beserta staf guru SDN Tambaksari.

Sederhana memang. Hanya sekitar sepuluh siswa, 6 guru beradu peran bersama di jalanan dengan penuh ekspresi mulai pukul 16:00 sampai waktu berbuka puasa. Mengangkat tema yakni “Guru Oemar Bakrie” yang mengambil judul lagu Iwan Fals. Tema ini menyiratkan, bagaimanapun kondisi yang terjadi, guru tetaplah mendidik muridnya dengan kedekatan dan keakraban yang harmonis.

Maka sebuah keniscayaan jika teater merupakan wahana alternatif sebagai sarana edukasi kreatif karena dekat dengan psikologi untuk menggugah, menyadarkan nilai pendidikan yang masih relevan di era modern saat ini. Sebagaimana slogan Ki Hajar Dewantara: “Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani”.

Momentum hatedu yang disajikan oleh kelompok teater anak SD mengajak publik untuk merefleksikan dan menggugah kembali nilai luhur dari teater itu sendiri yaitu sebagai media perdamaian. Dalam hal ini juga sebagai filterisasi moral dari generasi atas pengaruh peradaban global di era yang ruwet seperti saat ini. Maka dengan ini harapannya, pelaku teater mendapat kesempatan dan kepercayaan dengan support sepenuhnya yang lebih serius dari segala pihak untuk terus menunjukkan eksistensi sebagai media pemersatu dan pembawa pesan perdamaian di segala aspek kehidupan: sosial, budaya, ekonomi, politik, agama bahkan pendidikan.

*Penulis adalah seniman, praktisi seni, dan pengajar seni di Kota Pasuruan

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.