Wonoasih (wartabromo.com) – Ratusan warga Dusun Dawuhan, Kelurahan Kedungasem, Kecamatan Wonoasih, Kota Probolinggo, terpaksa gunakan rakit ala kadarnya untuk seberangi sungai. Pasalnya, jembatan penyeberangan sementara, hanyut terbawa banjir.
Kondisi itu, sebagai imbas pembangunan total pada jembatan Kedungasem yang melintasi Sungai Kedung Galeng.
Sehari-hari, warga setempat memanfaatkan rakit ala kadarnya untuk ke sekolah, pasar, atau bahkan ke pusat perbelanjaan di kota. Seperti yang dilakukan sepasang saudara, Nabila dan Nairil.
Siswa kelas IV sekolah dasar ini terpaksa harus gunakan rakit, untuk seberangi Sungai Kedung Galeng, menuju tempat mereka menuntut ilmu.
“Ya gemeteran, takut. Sebelumnya kan ada jembatan bambu, tapi kena banjir,” katanya polos, Jumat (2/7/2021).
Namun karena tidak ada akses lain, maka rakit bambu ala kadarnya yang dibuat warga sekitar, terpaksa digunakan. Sebab jika harus memutar, sangat jauh. Kondisi itu sudah berlangsung selama empat hari terakhir.
Dampak lain dari ketiadaan akses jembatan itu juga dirasakan oleh pedagang pasar Dungmiri, yang ada di seberang barat sungai Kedungasem.
“Biasanya kami mendapatkan omzet sampai Rp400 ribu sehari. Setelah tidak ada jembatan itu warga tidak ada yang belanja ke sini. Untuk dapat Rp100 sehari pun susah sekali,” tutur salah satu pedagang, Arpin.
Wanita 55 tahun itupun bingung harus berkeluh kesah pada siapa. “Mau sambat ke pak wali tidak tahu harus melalui siapa. Tolonglah pak dibuatkan jembatan sementara. Kalau menunggu 7 bulan sampai perbaikan jembatan utama selesai, ya kami mau makan apa pak,” keluhnya.
Rakit bambu alakadarnya itu, merupakan inisiatif warga sekitar, lantaran prihatin, karena warga tidak bisa beraktivitas dengan lancar. Diketahui jembatan bambu sementara yang sebulan lalu dibangun, hanyut dibawa banjir.
“Sebelumnya sudah kami ingatkan, agar pondasi jembatan bambu itu agak tinggi dari permukaan air. Sebab jika banjir, maka akan hanyut. Benar saja, beberapa hari lalu air datang dan jembatannya hanyut,” kata warga, Sipon.
Berdasar kepedulian pada warga itu, Sipon kemudian membuat rakit dari bambu dengan peralatan seadanya, seperti jeriken bekas dan tambang disusun. Setiap pagi, mulai pukul 03.00 WIB, warga sudah beraktivitas ke pasar.
“Tidak ada tarikan apapun bagi warga yang menggunakan rakit ini. Kalau diberi ya kami terima. Intinya agar warga bisa beraktivitas lancar. Kasihan kalau harus memutar Mas, jauh,” tandas Sipon. (lai/saw/ono)