Oleh: Amal Taufik
SEKILAS, Pondok Pesantren (Ponpes) Al Faqihiyah yang berada di Dusun Grogolan, Desa Sumberglagah, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan, tampak biasa saja. Ia terlihat seperti pesantren kebanyakan yang ada di desa-desa. Bahkan mungkin lebih sederhana.
Tapi, di balik tampilannya yang ‘biasa’ itu, pesantren yang memiliki puluhan santri ini justru menyimpan keistimewaan. Sebab, pesantren ini mampu memenuhi kebutuhan energinya secara mandiri alias mandiri energi berkat biogas.
Jaringan pipa yang diinstalasi untuk menyalurkan gas dari digester (bioreaktor) pun terlihat di sejumlah sudut pesantren. “Sudah 11 tahun ini kami pakai biogas,” kata pengasuh ponpes, Muhammad Fatkhul Muhbir atau Gus Muhbir saat ditemui, Sabtu (29/08/2020) lalu.
Ia pun mengajak WartaBromo berkeliling, melihat dari dekat bagaimana energi ramah lingkungan itu diterapkan di pesantrennya.
Diceritakan Gus Muhbir, penggunaan biogas di pesantrennya dimulai sejak tahun 2009 silam. Sejak, saat itu, para santri yang bermukim tak lagi menggantungkan gas elpiji untuk memasak.
“Kadang-kadang elpiji ya masih digunakan kalau pas digesternya dikuras itu. Tapi hanya beberapa hari/jam saja. Atau pas ada pengajian umum. Itu kan ratusan orang yang hadir. Masaknya pakai tambahan elpiji. Selain itu, sehari-hari pakai biogas,” terang Gus Muhbir.
Biogas yang dipakai berasal dari kotoran sapi milik pesantren. Kebetulan, selain pendidikan keagamaan, para santri juga diajari cara beternak sapi yang baik. Dengan begitu, para santri memiliki bekal pengetahuan yang cukup setelah lulus nanti.
Total ada 20 ekor sapi dimiliki pesantren ini. Dengan jumlah itu, tinja yang dihasikan mencapai 500-750 kilogram setiap harinya. Tak pelak, pihak pesantren pun acapkali kerepotan mengurus tumpukan limbah yang berjibun itu.
Dulu, sebelum mengenal teknologi biogas, kotoran-kotoran sapi itu berserakan di jalan, dan sebagian ada yang dibuang ke sungai. Melihat itu, Gus Muhbir pun mulai resah. “Jika diterus-teruskan, akan mencemari lingkungan sekitar,” pikirnya kala itu.
Karena waktu itu ia tak memiliki ilmu apapun soal pemanfaatan kotoran sapi, ia lantas mencoba mencari akses melalui Camat Rembang pada saat itu.
Gayung bersambut. Oeh Camat Rembang, Gus Muhbir disambungkan dengan pegawai Dinas Peternakan Kabupaten Pasuruan, M. Syaifi. “Pak Syaifi itu yang ngajari dan ndampingi. Saya diajak ikut pelatihan ke mana-mana,” kenangnya.
Syaifi mengungkapkan, sejak awal respons pesantren cukup baik terkait dengan biogas. Orang tua Gus Muhbir, Mahrus Fadlan, yang juga kiai di pesantren itu bahkan antusias mendukung pemanfaatan kotoran sapi.
“Selain itu juga, pertimbangan saya waktu itu kalau di pesantren bisa jadi percontohan. Kalau kiai-nya pakai, bisa menularkan ke warganya,” ungkap Syaifi.
Di Kecamatan Rembang sebenarnya ada beberapa titik yang ia dampingi untuk mengelola kotoran sapi menjadi biogas. Namun yang masih jalan hanya di Ponpes Al Faqihiyah. Menurutnya, warga, meski memiliki sapi di rumahnya, masih merasa ribet untuk memroses kotoran sapi hingga menjadi biogas.
Padahal, lanjutnya, jika warga sudah memiliki 2 ekor sapi saja, itu sudah cukup untuk kebutuhan rumah tangganya. “Selama sapinya belum mati atau dijual, itu bisa menggantikan elpiji rumah tangga selamanya,” imbuh Syaifi.
Dulu awal-awal merintis, Ponpes Al Faqihiyah baru punya 5 ekor sapi. Kemudian, mendapatkan bantuan 5 ekor lagi dari pemerintah, sehingga ada 10 ekor sapi pada awal-awal membuat biogas. Modal itu kemudian ditambah rasa ingin tahu Gus Muhbir yang lantas pelan-pelan menambah lagi hingga saat ini berjumlah 20 ekor.