Cerianya suasana sekolah nyaris tak dirasakan sepanjang hidup Siti Hotijah, warga Desa Tongas Wetan, Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo. Padahal, anak seusianya banyak yang mengenyam pendidikan SMP sederajat. Apalagi negara menjamin akses pendidikan bagi setiap warganya, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 45.
Laporan S. Adi Wardhana, Probolinggo
SEHARI-HARI Siti Hotijah membantu neneknya, Ngatik yang kini berusia 85 tahun. Keduanya tinggal di dapur berukuran 3×4 di belakang rumah anak Ngatik. Berdinding anyaman bambu.
Tak ada perabotan berharga di rumah semi permanen itu, kecuali dipan bambu, lemari, dan kursi plastik.
Remaja berusia 13 tahun itu, mengaku ingin sekali sekolah. Namun apa daya, garis kemiskinan yang menjeratnya seakan tak membolehkan dirinya mengenyam bangku sekolah. Apalagi ia hanya tinggal bersama neneknya yang sudah dimakan usia. “Sebenarnya pengen sekolah,” ucapnya dalam Bahasa Madura.
Ia kemudian bercerita ihwal mulanya dirinya tak bersekolah. Sekitar umur 4 tahun, dirinya ditinggal mati oleh Sunaifa, ibunya. Padahal saat itu, dirinya baru masuk PAUD, mulai belajar menyanyi dan mengenal huruf.
“Saya berhenti ketika Ibu meninggal dunia akibat sakit. Dari sana saya tidak bersekolah,” tuturnya.
Warga Dusun Pancoran, Blok Klumprit itu, juga dilarang sekolah oleh Dimo, ayahnya, dengan alasan tempat belajarnya jauh. Di usia 5 tahun, sang ayah menikah dengan tetangganya dari dusun lain. Hotijah dan Siti Aminah, kakaknya, pun ikut ayah dan tinggal di rumah ibu tiri.
Tak lama pasangan suami istri tersebut bercerai. Dimo lantas menikah kembali dengan seorang perempuan dari Desa Klampok, Kecamatan Tongas. Sama seperti sebelumnya, kakak-beradik tersebut mengikuti ayahnya. Di desa ini, Hotijah dan Aminah cukup lama tinggal.
Meski begitu, mereka tak juga menempuh pendidikan. Lagi-lagi dilarang oleh Dimo. Alasannya karena sekolah jauh. “Pengen bersekolah, tetapi tidak diperbolehkan sama ayah karena jauh. Katanya, khawatir ditabrak motor. Jadi saya hanya bersama kakak di rumah,” ungkap Hotijah.
Dua tahun yang lalu, Dimo meninggal dunia karena terjatuh saat mengarit rumput di sawah. Kemudian Siti Aminah yang kini berusia 15, merantau ke Surabaya. Tidak ketahui secara pasti apa pekerjaan Aminah di Kota Pahlawan itu.
Sementara, Hotijah dijemput oleh Bulek-nya untuk kembali ke Desa Tongas Wetan dan tinggal bersama Mbah Ngatik. Kondisi Ngatik sudah uzur, tak sehat. Ia sering sakit-sakitan, jika kambuh sulit untuk berkomunikasi.
“Kalau di rumah yang hari ini saya tinggali, saya hanya memasak, bersih-bersih, dan merawat nenek. Untuk sehari-harinya saya menerima bantuan dari keluarga terdekat dan orang lain,” terang remaja kelahiran 19 Desember 2007 itu.
Hotijah sangat berharap untuk bisa melanjutkan sekolah kembali. “Sedih sebenarnya tidak sekolah, tapi saya berharap nantinya bila ada rezeki bisa bersekolah. Masa depan nanti saya pingin sukses, memiliki rumah sendiri,” kata Hotijah menuturkan harapannya.
Kepala Dusun Pancoran Abu Rohmad membenarkan, jika Siti Hotijah dan Siti Aminah merupakan anak yatim piatu. Ia menyebut jika Mbah Ngatik sudah mendapat bantuan program jaring pengaman sosial berupa Program Keluarga Harapan (PKH) Lansia dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
“Neneknya mendapatkan bantuan lansia atau PKH juga raskin. Tapi rumahnya memang seperti ini,” terangnya.
Camat Tongas, Abdul Ghofur mengatakan, pemerintah tidak berpangku tangan terhadap penderitaan Ngatik dan 2 cucunya itu. Forkompika Tongas dan kepala desa setempat, pada Jumat, 19 Juni 2020 bersama mengunjungi keluarga ini. Untuk Siti Hotijah akan diusulkan dalam jaring pengaman sosial provinsi. Yang kedua akan dimasukkan ke dalam PKH.