Mengandung bahan berbahaya dan berpotensi mengganggu kesehatan, limbah medis seharusnya diawasi ketat. Nyatanya, rumah sakit lengah.
Laporan Mochammad Asad
SELAIN berceceran di tempat pengolahan akhir (TPA), limbah medis nyatanya banyak diperjualbelikan. Sejumlah pabrikan pengolah plastik didapati menerima limbah medis dalam bentuk infus bekas.
CV. Alam Jaya adalah salah satunya. Perusahaan yang berlokasi di Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember ini mengambil infus-infus bekas dari sejumlah rumah sakit di Jawa Timur.
Salah satunya dari RSUD Bangil. Rumah sakit milik Pemkab Pasuruan ini nekat memperjual belikan sebagian limbah medisnya kepada pihak lain dengan maksud untuk menambah pendapatan. Padahal, limbah-limbah berupa infus bekas itu belum diolah sesuai ketentuan.
Pihak rumah sakit sejatinya menjalin pihak ketiga guna mengolah limbah medisnya. Dalam hal ini adalah PT. Putra Restu Ibu Abadi (PRIA) yang berlokasi di Mojokerto.
Tak tanggung-tanggung, anggaran yang dialokasikan pihak rumah sakit mencapai Rp 1,8 miliar. Tapi, tidak seluruhnya limbah diserahkan.
Tempo dan WartaBromo yang berhasil menyelinap mendapati tumpukan limbah medis di ruang TPS (tempat penyimpanan sementara) B3 di belakang rumah sakit. Limbah-limbah infeksius itu dikemas dalam kresek warna kuning.
Akan tetapi, jumlah itu belum seberapa bila dibandingkan tumpukan limbah berupa infus bekas yang ada ruang terbuka di belakang TPS. Di sana, tumpukan infus bekas itu terlihat menggunung, menunggu giliran untuk dipotong-potong.
Kondisi yang sama terlihat di ruangan recycle limbah yang ada di ujung selatan TPS. Dari celah pintu, terlihat tumpukan botol infus yang telah dipotong dalam bentuk lembaran terbungkus sak warna putih. Tampak bak berukuran 1,5 meter x 1 meter berisi air warna hijau di ruangan tersebut.
Peluang menambah pemasukan memang menjadi alasan rumah sakit untuk menjual kembali infus bekas tersebut. Alasannya, botol infus bekas masih bisa didaur ulang karena tidak termasuk dalam kategori limbah B3. “Kan tidak ada darahnya,” kata Nabil, penanggung jawab kesehatan lingkungan RSUD Bangil.
Nabil yang diwawancarai Jumat, akhir November 2019 lalu, mengatakan secara umum, limbah rumah sakit terbagi ke dalam tiga kelompok. Yakni, limbah domestik biasa seperti rumput dan juga dedaunan. Untuk kelompok ini, langsung dibuang ke Tempat Pengolahan Akhir (TPA) di Kenep, Beji, Kabupaten Pasuruan.
Selain sampah domestik, juga ada sampah atau limbah non medis yang memungkinkan untuk didaur ulang. Menurut Nabil, termasuk dalam kelompok ini adalah botol infus bekas yang tadi. Atau juga bekas kemasan cairan hemodisila. Oleh pihak rumah sakit, kemasan bekas itu kemudian dibelah sebelum akhirnya dijual ke pengepul.
Karena itu, saban hari, botol-botol yang dihasilkan dari setiap unit layanan itu ditampung di kontainer terpisah. Setelah itu, baru dikumpulkan di bagian belakang gudang TPS rumah sakit.
Sampai pada jumlah tertentu, botol infus bekas jenis LDPE itu kemudian dijual ke CV. Alam Jaya, Jember. Setiap empat bulan sekali, perusahaan tersebut mengambilnya ke rumah sakit.
“Setiap kilonya Rp 6 ribu. Dan itu masuk ke kas rumah sakit,” kata Nabil yang ditemui di lantai dua kantor manajemen RSUD Bangil itu.
Dengan volume infus bekas yang mencapai 300 kilogram setiap bulannya, itu berarti, rumah sakit pelat merah ini mendapat pemasukan Rp 1,8 juta dari hanya jualan infus bekas ini. Padahal, nyata-nyata, kemasan bekas tersebut masuk kategori limbah B3.
Pemilik CV Alam Jaya, Yuli saat dikonfirmasi mengakui hal itu. Tak hanya RSUD Bangil. Olehnya, bekas kemasan infus itu kemudian ia kirim ke pabrik. “Dipakai bahan timba,” ujarnya, Jumat (17/1/2020).