Sebagai objek wisata baru, kehadiran Cimory adalah kabar baik. Sayang, ia justru banyak menuai polemik. Apa yang salah?
Laporan Amal Taufik
NAMA Cisarua Mountain Dairy tidak begitu popular dibanding Cimory. Padahal, keduanya merujuk pada sesuatu yang sama; sebuah tempat wisata. Ya, Cimory sendiri tak lain adalah singkatan dari Cisarua Mountain Dairy, objek wisata yang mengintegrasikan nilai edukasi dan rekreasi.
Didirikan pertama kali di Cisarua, Bogor pada 2006, objek wisata buatan ini berkembang pesat. Yang terbaru, sang pemilik, Bambang Sutantio membuka gerai baru Cimory di Prigen, Kabupaten Pasuruan.
Proyek yang dimulai sejak 2015 itu merupakan gerai keempat Cimory Grup setelah 2 gerai di Bogor dan 1 yang baru saja dibangun di Bawen, Jawa Tengah.
Di Prigen, objek wisata dengan nama panjang Cimory Dairy Land & Resto terhitung baru sebulan lebih 10 hari beroperasi. Tepat pada 1 Desember 2019 lalu, usaha yang bagian dari Macro Grup itu dibuka.
Berada di ketinggian 600 meter dengan dungan panorama alam pegunungan, Cimory yang ada di kaki Gunung Welirang itu sontak menjadi primadona.
Media sosial dihiasi swafoto wisatawan yang berkunjung ke sana. Arsitektur beberapa bangunan yang terpacak di media sosial pun juga menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang melihatnya.
Ditambah lagi website-website pariwisata yang banyak mengulas betapa menyenangkan berwisata ke Cimory.
Ya, Cimory memang diharapkan bisa menjadi alternatif di antara deretan objek wisata yang sudah ada selama ini. Berbekal selembar tiket Rp20 ribu, masyarakat pun sudah bisa masuk ke sana.
Akan tetapi, perlahan tapi pasti, antusiasme itu pada akhirnya justru membuka cacat Cimory yang tak kasat mata.
Betapa tidak. Ramainya wisatawan yang berkunjung ke sana pada akhirnya membuat akses menuju puncak di Jalan Raya Prigen macet parah. Dan itu terjadi sejak wahana yang berhadapan dengan Pasar Tradisional Prigen itu dibuka.
Mendekati moment pergantian tahun, kemacetan yang terjadi makin parah.
Menyikapi itu, Pemkab Pasuruan pun turun tangan. Pertemuan melibatkan pengelola Cimory dengan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait digagas Komisi I DPRD setempat. Hasilnya, terungkap fakta bila tempat rekreasi yang berkantor pusat di Jakarta itu belum memiliki Amdal Lalin.
“Itu temuan dari Sidak teman-teman di dewan,” kata Wakil Ketua DPRD, Andri Wahyudi.
Tidak adanya dokumen Amdal Lalin itu yang kemudian mengundang tanya akan izin operasional Cimory. Pasalnya, sebagai penyedia jasa hiburan dan atau tempat rekreasi, sudah selayaknya Cimory memiliki izin tersebut.
Sementara, izin operasional akan diterbitkan jika Amdal Lalin sudah dikantongi. Dan, pada akhirnya, izin operasional itu ternyata belum dipunyai.
Manajer CDL, Yos Ruwandi dalam sebuah pertemuan dengan pihak terkait tak mengelak bila objek wisata yang dikelolanya belum memiliki Amdal Lalin.
Ia bilang, dokumen tersebut masih dalam proses pengurusan di Dinas Perhubungan Jatim lantaran klasifikasi jalan yang memang wilayah provinsi.
Nir Amdal Lalin bukan-satu-satunya fakta yang ditemukan terkait kegiatan Cimory. Kontruksi objek wisata ini juga tidak sesuai dengan rancang bangun yang disetujui Pemkab. Hal itu terungkap saat dewan setempat menggelar Sidak (inspeksi mendadak) ke lokasi.
Jembatan penghubung antar resto adalah salah satunya. “Pada gambar rancang bangun sebelumnya, tidak ada gambar jembatan itu,” kata Eko Suryono, anggota Komisi I yang ikut Sidak kala itu.
Sikap dewan terkesan lunak. Atas beberapa temuan itu, mereka meminta pihak Cimory segera meng-update dokumen perizinan sesuai dengan gambar terbaru, tanpa ada rekomendasi penutupan sementara.