“Yang pasti, nikah siri itu menolak zina. Dan kawin siri itu macam-macam tujuannya, ada yang pingin coba-coba, tapi ada yang ingin poligami tapi nggak mau zina, akhirnya kawin siri di sini,”
Laporan Tuji
DARIPADA zina.
Kira-kira kalimat ini yang menjadi salah satu dasar dan pelecut hingga praktik nikah siri marak di wilayah Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan.
Ragam tanggapan dan argumen soal nikah siri karuan saja mengemuka. Ada pro, ada yang kontra.
Tak mencoba berpolemik, pastinya secara norma agama, siri dibolehkan. Dasar kuat pernikahan di luar catatan negara ini di antaranya seperti diungkap pada awal kalimat, yakni menghindari zina. Tentu saja dalam nikah siri harus memenuhi berbagai rangkaian ketentuan sebagaimana syariat agama, ada wali hingga saksi nikah, dipimpin oleh seorang kiai atau ustaz terkemuka.
Hal itu selaras dengan yang diucap oleh Mochammad Nakho’i, salah satu tokoh masyarakat Desa Kalisat, Kecamatan Rembang. Menurutnya, tak pernah tebersit olehnya atau bahkan umumnya warga, bila Rembang tiba-tiba dianggap oleh pihak luar sebagai tempat terbuka untuk melakukan pernikahan siri.
Dikatakan, pada era tahun 1980 sampai 1990-an, persepsi masyarakat luas terhadap Rembang sebagai tempat “nyaman” melakukan siri, begitu melekat. Diakuinya, kala itu kultur dan struktur sosial, atau kehidupan (perekonomian) warga terbilang masih cukup rendah. Boleh disebut juga, minimnya tingkat pendidikan masyarakat juga mendukung, sehingga praktik siri jadi pilihan.
Di lain titik, ia pun membeberkan perbedaan nikah siri dengan pernikahan secara kontrak. Ia memastikan, nikah kontrak tak dibenarkan, karena terdapat hal prinsip yang kontradiktif dengan praktik siri.
“Lain kawin siri dengan kawin kontrak, ndak sama. Kawin kontrak ndak boleh menurut hukum Islam. Kamu kawin, kamu saya berikan mesin jahit, terus selesai. Nggak, nggak begitu,” urainya menggambarkan dilarangnya nikah kontrak.
Seakan ingin meluruskan, Nakho’i mengungkapkan, sebenarnya tak semua warga Rembang melakukan pernikahannya secara siri. Pria berkumis ini kemudian membeberkan fakta, bahwa praktik siri lebih banyak dilakukan oleh warga Rembang yang telah memiliki status janda.
“Jadi bukan soal persentasenya (berapa banyaknya), tapi tempatnya. Di sini, nikah siri bisa. Lha rata-rata yang nikah siri itu janda,” ujar Nakho’i.
Meski tak menyebut angka pasti, perilaku dan jumlah pelaku nikah siri warga Rembang, saat ini justru kian berkurang. Kalaupun masih ada, kerapkali pernikahannya berujung dengan dicatatkan ke KUA.
Soal teredusirnya praktik nikah siri ini juga dikuatkan oleh Kepala KUA Rembang, Sulchan. Ia menyebutkan bila pengadilan agama dalam beberapa tahun terakhir cukup sering memberikan layanan menikah bagi warga Rembang.
Setidaknya, KUA yang dipimpinnya mencatat tiga hingga empat kali pernikahan setiap tahun, dilakukan warganya. “Alhamdulillah, SDM Rembang seperti dulu sudah tidak ada. Setiap tahun bisa tiga yang mengajukan sidang (pernikahan),” terang Sulchan.
Perubahan ini dinilai bisa terjadi seiring perkembangan zaman, selain adanya peningkatan perekonomian warga Rembang. Terlebih pernikahan secara resmi dibutuhkan, jika dikaitkan pada sisi kepentingan formal penerbitan akta kelahiran, sampai kebutuhan proses pencatatan sipil lainnya.
Melanjutkan cerita Nakho’i.
Sedikit mengurai fenomena siri, secara lebih detail diucapkan, jika pilihan nikah tanpa mencatatkan diri ke KUA ini sering dipilih, lantaran banyak perempuan Rembang memiliki status janda.