Pemilik topeng monyet telah melanggar prikehewanan dan hak asasi monyet, namun orang-orang tak pernah memikirkan hal itu. Si monyet yang seekor monyet, bahkan mulai kehilangan identitasnya sebagai seekor monyet. Siksaan, doktrinasi dan kekerasan verbal telah diterimanya sehingga si monyet merasa jika dirinya terlahir sebagai pemeran atraksi topeng monyet semata.
Oleh : Abdur Rozaq
Warung kopi Cak Sueb meriah oleh gamelan sederhana dan kerumunan orang. Anak-anak dan sebagian orang dewasa berkerumun saat jam kerja, padahal mereka di usia produktif. Ini memberi tiga fakta antropologi sosial sekaligus. Fakta pertama, rakyat di kampung Cak Manap suka kepo. Fakta kedua, pengangguran semakin banyak, dan fakta ketiga rakyat merindukan hiburan murah selain dari HP.
Pagi itu, ada serombongan topeng monyet keliling yang sedang mengamen di depan warung Cak Sueb. Seekor monyet dikalungi rantai kecil yang tersambung pada seutas tambang kecil. Si pawang monyet menyentak-nyentak tali itu demi si monyet menuruti kemauannya, memeragakan berbagai aksi akrobatik. Si monyet yang sudah terengah-terengah kelelahan, terus dipaksa untuk berakrobat naik miniatur sepeda motor, memegang payung dan tas memeragakan orang pergi ke pasar, dan beberapa aksi akrobat lainnya.
Anak-anak bersorak karena gerakan-gerakan ala sirkus itu memang lucu. Beberapa orang malah memvideokannya, meski mereka bukan wartawan. Mungkin akan diunggah ke media sosialnya, meski mereka bukan konten kreator. Seekor monyet memeragakan aksi mirip manusia, memang lucu sekaligus mengagumkan. Bagaimana tidak, seekor monyet yang begitu lincah naik miniatur sepeda motor, bergelantungan seraya berayun pada tali, bersalto dan naik motor dengan berdiri, tentu mengundang decak kagum. Dan Mahmud Wicaksono sang pengamat apapun, tiba-tiba tertarik untuk berhayal.
Dalam analisa Mahmud Wicaksono, untuk melatih seekor monyet memiliki ketangkasan seperti itu, pasti memerlukan latihan yang keras dan tak mengenal belas kasihan. Kemungkinan besar, moyet itu diambil dari hutan sejak masih bayi. Dipisahkan dari induknya secara paksa, sehingga ia tak punya akta kelahiran, tak tahu tanggal lahir bahkan tak kenal siapa orang tuanya. Jangan kata disekolahkan, diberi kesempatan untuk bermain selayaknya anak-anak monyet saja tak mungkin. Bisa dipastikan pula, anak monyet itu dikarantina dan diperlakukan dengan sangat kejam. Dari sorot matanya yang mirip manusia, si monyet sesekali menatap kosong ke arah para penonton. Mungkin, ia berhayal bisa ngopi dan ngeramal togel seperti Wak Takrip. Mungkin, monyet itu ingin bermain HP seharian penuh seperti anak Cak Sueb. Paling tidak, si monyet mengidamkan kehidupan normal di habitatnya sana.
Si monyet, pasti telah melewati proses latihan yang melelahkan sekaligus menyakitkan. Di depan para penonton saja, si pawang tak segan menarik dengan keras tali yang tersambung pada rantai di leher si monyet. Apabila si monyet tak becus memperagakan akrobat, si pawang menarik dengan keras hingga si monyet tercekik. Saat si monyet tidak kosentrasi dan tidak memperagakan atraksi dengan baik, si pawang memukulnya dengan cambuk khusus. Itu semua terjadi di depan banyak orang, dan mereka tertawa karena merasa lucu.
Mahmud Wicaksono yang melankolis, membayangkan dirinya sebagai monyet nelangsa itu. Bagaimana rasanya hidup dalam sekapan orang lain? Sudah dipisahkan dari induknya sejak bayi, dilatih dengan penuh kekerasan, dipaksa kerja keras demi pemilik group topeng monyet bisa makan, hidup di sangkar sempit, dihalang-halangi untuk kawin, tidak diperbolehkan bersosialisasi, dan apabila si monyet coba-coba kabur, akan dicari untuk ditangkap kembali meski ke ujung dunia.
Pemilik topeng monyet telah melanggar prikehewanan dan hak asasi monyet, namun orang-orang tak pernah memikirkan hal itu. Si monyet yang seekor monyet, bahkan mulai kehilangan identitasnya sebagai seekor monyet. Siksaan, doktrinasi dan kekerasan verbal telah diterimanya sehingga si monyet merasa jika dirinya terlahir sebagai pemeran atraksi topeng monyet semata. Si pawang memberinya sebatang rokok yang menyala, monyet itupun menghisapnya. Si monyet diberi potongan koran, ia pun memperagakan manusia yang sedang membaca koran. Si monyet diberi kursi dan meja, ia pun memperagakan pejabat yang sedang rapat membahas cara mengkorupsi anggaran. Si monyet diberi podium dan miniatur mikropon, ia pun memperagakan orasi kampanye. Si monyet, benar-benar kehilangan jati dirinya sebagai munyuk alias ketek. Untuk menguasai atraksi seperti itu, selain diperlukan tindak kekerasan, juga diperlukan program cuci otak. Apakah si pawang menyekap si monyet bersama monyet-monyet lain? jangan-jangan mereka juga memelihara ratusan monyet lain untuk menggantikan monyet itu setelah kelak menua, afkir dan tidak berguna. Jangan-jangan si pawang telah menernak monyet-monyet lain untuk dieksploitasi di group topeng monyet lain miliknya.
Dari gelagatnya, si pawang nampak sedikit mengidap ketidakberesan jiwa. Pada umumnya, orang takkan tega mengeksploitasi binatang seperti itu. Orang mungkin akan marah pada kucing yang mencuri ayam goreng dengan memukulnya dengan sapu. Apabila si kucing kabur, orang itu takkan mengejarnya karena masih banyak kegiatan yang lebih berguna. Namun si pawang ini, meski si monyet sudah berada di bawah kendalinya secara penuh, tak segan menarik dengan keras rantai yang melingkar di leher si monyet.
Pada akhirnya, Mahmud Wicaksono tidak merasa lucu melihat aksi monyet itu. Ia kemudian marah, sedih dan menyesal telah melihat pegalaran topeng monyet keliling itu. Apalagi, beberapa hari ini ia mendengar isu, tepatnya berita yang mewartakan jika ada manusia yang diperlakukan mirip dengan monyet itu, bahkan konon lebih parah. Semoga berita itu tidak nyata. Semoga berita itu hanya cerita FTV dan bukan benar-benar terjadi di negaranya.
**Tulisan hanya fiksi semata. Tidak bermaksud mendiskreditkan pihak mana pun