Oleh : Abdur Rozaq, S.Pd.I
Ramadhan, adalah sistem eliminasi canggih ciptaan Allah. Bagaimana tidak, perintah puasa dalam Al Qur’an saja, paling tidak mengandung dua kata kunci. Kata kunci pertama adalah perintah puasa hanya dikhususkan bagi orang yang beriman. Kata kunci kedua, apabila berpuasa dengan benar, kita akan mendapat predikat orang-orang bertakwa. Lebih tegas, para ulama mengidentifikasi jika puasa Ramadhan hanya bisa dan mampu dilakukan oleh orang-orang yang beriman. Oleh karenanya, banyak kita saksikan, bahkan bisa jadi diri kita sendiri, banyak kaum muslimin yang oleh Allah tidak diberi kehormatan untuk menunaikan ibadah puasa. Secacara gamblang, untuk membedakan orang yang sekedar muslim namun belum mukmin, adalah diberikannya kehormatan untuk menunaikan puasa secara benar. Artinya, kita berpuasa, namun mampu untuk tidak menerobos rambu-rambu etika ibadah puasa. Misalnya tidak menggunjing, mengadu domba, korupsi atau meminta THR dengan paksa.
Memasuki kontruksi Ramadhan sendiri, Allah membaginya menjadi tiga etape. Sepuluh hari pertama Ramadhan, Allah memberikan anugerah rahmat atau kasih sayang lebih bagi mereka yang menjalankan puasa dan ibadah lainnya. Ini memang sudah termasuk istimewa karena Allah menambahkan jutaan kali lipat kasih sayang-Nya. Namun jika renungkan secara jernih, bukankah setiap hamba, bahkan yang ingkar terhadap Allah pun, masih mendapat rahmat? Jadi, jika ditinjau dari segi tasawuf, orang yang lulus ujian berpuasa di etape awal sepuluh hari pertama Ramadhan, “tidak sebegitu istimewa”. Makanya pantas, di awal-awal Ramadhan, masjid, surau dan tempat-tempat ibadah lainnya begitu membludak karena eliminasi belum sebegitu ketat.
Memasuki etape kedua pada sepuluh hari kedua Ramadhan, tingkat ujian dinaikkan. Tentu saja, reward yang ditawarkan Allah juga lebih menggiurkan yaitu maghfirah atau ampunan. Allah bukan Dzat yang pelit apalagi mempersulit. Namun karena ampuan memang hanya pantas didapatkan oleh orang yang bersungguh-sungguh, tak heran jika kita mulai loyo dalam beribadah dan mulai longgar dalam menjaga kualitas puasa dan ibadah lainnya.
Pada etape ketiga pada sepuluh hari terakhir, Allah semakin memperketat siapa saja yang berhak lolos dengan mendapat reward itqun minannar atau pembebasan dari neraka. Maka seperti yang kita alami dan lakukan, ujian pada etape ini kian sengit. Masjid dan surau mulai sepi, sedangkan tempat kerja, toko-toko perlengkapan lebaran malah membludak. Para suami dikejar setoran, sementara para istri dan anak bertugas dengan baik menghabiskan hasil lembur dengan membeli perlengkapan pesta lebaran.
Apalagi pada malam lailatul qadr di mana Allah menggelar diskon paling spektakuler, para suami disibukkan dengan mengecat rumah, mengejar lemburan atau semacamnya. Bekerja memang termasuk ibadah yang mulia. Namun mengkhususkan kenikmatan ibadah utama seperti puasa, tarawih, tadarrus dan semacamnya, bukankah lebih layak dinikmati, setahun sekali? Para istri dan anak-anak, juga tak luput dari cobaan membuat hidangan lebaran atau hingar-bingar belanja sehingga ibadah utama terlewat.
Lalu, bagaimanakah jalan tengah agar kita memenangkan Ramadhan secara paripurna? Sepertinya, kita perlu meniru formulasi para sesepuh yang telah lama ditnggalkan. Orang tua kita dulu, mempersiapkan biaya hidup selama Ramadhan dan lebaran dalam setahun. Mereka menabung dan konsisten takkan menggunakannya selain sebagai persiapan menyambut Ramadhan dan lebaran. Bahkan, para sesepuh yang ingin menikmati kelezatan Ramadhan secara paripurna, secara ekstrim libur bekerja sebulan penuh diganti dengan aktivitas ibadah utama secara masif. Persiapan lebaran pun, sudah ditangani jauh hari bahkan sebelum bulan Sya’ban. Para sesepuh kita, sudah mengecat rumah, merenovasi atau semacamnya pada bulan Rabiul Awal. Ini dilakukan dalam rangka menyambut tamu istimewa yaitu Rasulullah, yang akan hadir ke kediaman mereka saat perayaan maulid diadakan. Demikian pula dengan membuat hidangan lebaran, sudah mereka cicil sejak bulan Sya’ban hingga awal Ramadhan. Dengan demikian, pada bulan seribu bulan yang belum pasti kita menemuinya kembali ini, ibadah utama dapat dilaksanakan dengan hidmat sekaligus nikmat.
Semoga Ramadhan kali ini kita berhasil menggapai rahmat, ampunan dan pembebasan dari neraka sekaligus. Sebab Allah Maha Bijak dalam “mempertimbangkan” keadaan kita yang berbeda dengan keadaan para leluhur kita saat itu. Semoga puasa kita yang alakadarnya dan lebih banyak tak lolos quality control ini, dimaklumi oleh Allah. Taqabal Allah minna wa minkum.
*Penulis adalah anggota LTN NU kabupaten Pasuruan
**Disarikan dari Dzurratun Nasikhin, Pengajian KH. Ishomuddin Mashum dan literasi lain