Efisiensi Anggaran untuk Siapa?

169

Oleh: Fittriyah*

Pasuruan (WartaBromo.com) – Hari ini pemberitaan media didominasi oleh dua kata yang sedang viral. Atau kalau sekarang kata anak Gen Z sedang FYP (For Your Page) di platform media sosial. Dua kata itu adalah ‘efisiensi anggaran’, yang sedang menjadi kebijakan utama pemerintah Presiden Prabowo untuk mendanai program yang telah dikampanyekan.

Menurut Kementerian Keuangan, efisiensi anggaran merupakan salah satu strategi pemerintah untuk mengoptimalkan penggunaan dana negara dalam menghadapi berbagai tantangan ekonomi. Seperti perlambatan pertumbuhan ekonomi global, peningkatan utang, dan fluktuasi nilai tukar rupiah.

Efisiensi anggaran dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan benar-benar memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat. Seperti yang kita ketahui, salah satu program populis Presiden Prabowo adalah Makan Bergizi Gratis (MBG). Ini menjadi program unggulan yang dikampanyekan pada saat kontestasi pilihan presiden pada pemilu kemarin.

MBG konsepnya memberikan makanan bergizi gratis satu kali per hari kepada anak sekolah untuk memenuhi sepertiga kebutuhan kalori harian. Dana yang disiapkan tidak kecil. Dari yang awalnya ditetapkan sebesar Rp 71 triliun, kini direvisi menjadi Rp 171 triliun. Sebuah angka yang fantastis untuk mewujudkan cita-cita Presiden Prabowo menuju Indonesia Emas 2045.

Kebutuhan anggaran yang besar ini tentu akan mengurangi atau menghemat anggaran di sektor-sektor belanja pemerintah lainnya. Ketika belanja pemerintah dikurangi, sektor-sektor yang bergantung pada anggaran negara seperti infrastruktur, kesehatan, dan bantuan sosial bisa terdampak. Proyek pembangunan melambat, layanan publik berkurang, dan belanja sosial bisa terpangkas. Akibatnya, daya beli masyarakat juga menurun, karena banyak sektor usaha yang menggantungkan permintaan dari proyek-proyek pemerintah.

Sebagai contoh, ketika anggaran proyek infrastruktur dipangkas, maka banyak tenaga kerja informal kehilangan penghasilan. Ini kemudian berdampak pada konsumsi rumah tangga yang lebih rendah, sehingga sektor ritel dan UMKM ikut terkena imbas.

Banyak sektor swasta yang masih mengandalkan pemasukannya dari belanja pemerintah. Sehingga ketika diberlakukan efisiensi anggaran, tentu kondisi mereka juga turut terguncang. Melihat dampak yang sangat signifikan ini, kebijakan efisiensi anggaran harus disampaikan secara utuh oleh pemerintah.

Kebijakan pemerintah sering kali gagal dipahami oleh masyarakat karena buruknya komunikasi dari pemerintah. Banyak orang tidak mengerti apa itu efisiensi anggaran, bagaimana mekanismenya, dan siapa yang terdampak. Hal ini terjadi karena komunikasi pemerintah terkesan tidak jelas, sering berubah-ubah, dan bersifat reaktif, seolah-olah mereka hanya “tes the water”—menguji reaksi publik sebelum akhirnya mengubah kebijakan jika terjadi gejolak.

Dalam konteks komunikasi politik dan kebijakan publik, Teori Kesenjangan Informasi (Information Gap Theory) dari George Akerlof dapat menjelaskan fenomena ini. Pemerintah memiliki lebih banyak informasi dibandingkan masyarakat, tetapi jika komunikasi tidak transparan dan konsisten, akan timbul kesenjangan informasi yang berujung pada spekulasi, kesalahpahaman, dan ketidakpercayaan dari publik.

Koordinasi yang Lemah, Informasi yang Menyesatkan? Salah satu masalah utama dalam kebijakan ini adalah kurangnya koordinasi di antara kabinet.

Ketika kebijakan efisiensi diumumkan, menteri sering kali menjadi “tameng”, mengeluarkan pernyataan yang justru memperkeruh situasi. Tidak ada narasi yang holistik dan konsisten, sehingga terjadi misleading informasi. Rakyat di tingkat bawah akhirnya bingung dan pesimis terhadap arah kebijakan ekonomi, yang pada akhirnya ramai tagar #Indoensiagelap, dan #Kaburajadulu di sosial media.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.