Laporan: Akhmad Romadoni
Di Kabupaten Pasuruan, tersembunyi warisan budaya yang tetap hidup meski zaman terus berganti. Terbang Wedar, bukan sekadar alat musik, tetapi juga simbol kebersamaan dan gotong royong yang telah bertahan lebih dari satu abad. Suaranya yang khas masih menggema, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Dusun Wedar, Desa Gading, Kecamatan Winongan.
Konon, Terbang Wedar sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Legenda setempat menyebutkan bahwa alat musik ini pertama kali ditemukan di sekitar makam Mbah Klunthung, seorang tokoh yang dihormati warga. Secara misterius, 18 buah terbang muncul di lokasi tersebut, seolah dihadirkan oleh kekuatan gaib.
“Saya sudah tiga generasi sudah ada terbang ini, kalau dihitung sudah 150 tahunan lebih. Cerita kakek nenek warga sini, terbang ini ditemukan di sumber dekat makam berjumlah 18 buah,” ungkap Anwar Syarif, salah satu pelestari Terbang Wedar.
Sejak saat itu, alat musik ini menjadi bagian dari kehidupan warga Dusun Wedar. Bahkan, ketika kampung ini pernah mengalami kebakaran hebat, benda-benda lain hangus terbakar, tetapi Terbang Wedar tetap utuh.
“Kampung ini dulu pernah terbakar, anehnya terbang ini masih utuh. Itu cerita sudah jadi turun temurun warga di sini,” kisahnya.
Berbeda dengan alat musik terbang pada umumnya, Terbang Wedar memiliki ukuran lebih besar, mencapai 75 sentimeter. Cara memainkannya juga unik—para pemain duduk, bukan berdiri seperti kesenian terbang lainnya.
“Ini bukan sekadar alat musik, tetapi juga bentuk kebersamaan. Kami memainkannya dengan hati, bukan hanya dengan tangan,” ujar Anwar, yang akrab disapa Pak War.
Selain teknik bermain yang khas, ada pula ritual khusus yang dilakukan sebelum memainkan Terbang Wedar, seperti memberikan air pada alat musik tersebut.
“Ada sesajen juga biasanya kalau pas main. Terus pas magom atau hormat nabi itu ada salah satu pemain terbang yang membuat anyaman tali,” tambahnya.
Uniknya, anyaman tali yang dibuat saat pertunjukan dipercaya memiliki khasiat penyembuhan.
“Kadang dibawa orang-orang, ditaruh di wedaran (perut) anak kecil untuk menyembuhkan penyakit,” jelasnya.
Saat ini, pertunjukan Terbang Wedar masih rutin digelar dalam acara hajatan hingga selametan desa. Bahkan, permintaan untuk tampil tidak hanya datang dari Kabupaten Pasuruan, tetapi juga dari daerah lain seperti Probolinggo.
Dalam hal perawatan, alat musik ini memerlukan perhatian khusus. Saat musim hujan, ring rotan dipasang di sisi dalam untuk menjaga kekencangan kulitnya, sedangkan saat musim kemarau, ring tersebut dilepas.
Selain keunikan dalam bentuk dan cara memainkannya, syair yang dilantunkan dalam pertunjukan Terbang Wedar juga khas. Shalawat Diba’ dilagukan dengan langgam Jawa, menciptakan suasana religius yang mendalam. Ketukan yang dihasilkan pun berbeda dari jenis terbang lain seperti Ishari atau Banjari, dengan irama yang lebih lembut dan syahdu.
“Lagunya suluk, jadi lagu lama syair lama yang masih digunakan,” ujar Anwar.
Meskipun sebagian besar pemainnya kini sudah lanjut usia, semangat untuk menjaga warisan leluhur tetap menyala.
“Kami ingin Terbang Wedar terus dikenal dan diwariskan kepada generasi muda. Ini bukan hanya seni, tapi juga jati diri budaya,” tegasnya.
LIHAT VIDEONYA
Di tengah gempuran modernisasi, eksistensi Terbang Wedar menjadi tantangan tersendiri. Namun, bagi masyarakat Dusun Wedar, suara terbang yang terus menggema adalah bagian dari napas sejarah yang harus dijaga.
Dengan semangat gotong royong, mereka berharap Terbang Wedar tak hanya bertahan, tetapi juga semakin dikenal luas.
“Kalau dari kita, cukup cuma minta doa aja. Terbang ini tetap ada sampai kapanpun,” pungkasnya. (yog)