Bahaya laten yang tak kalah gawat bagi “kesehatan kalbu” adalah “makar” yang dilakukan oleh Hawa secara diam-diam. Hawa sendiri, adalah kaum oposan pasif-pragmatis yang sangat menyukai zona aman, mengagungkan pragmatisme serta memuja kenyamanan jangka panjang.
Oleh Abdur Rozaq, S.Pd.I *
Diwajibkannya puasa bagi umat manusia –terkhusus kaum muslimin—, kurang lebih bermula dari dialog Allah Subhanahu wa ta’ala dengan Akal dan Nafsu. Begitu kedua mahluk itu diciptakan, Allah memberi semacam phsyco test. Pertama kali yang mendapat pertanyaan adalah Akal. Allah bertanya kepada Akal “siapakah Aku, dan siapakah engkau?” Akal menjawab “Engkau adalah Tuhanku, dan aku adalah hambamu.” Kemudian Allah bertanya kepada Nafsu “siapakah Aku, dan siapakah engkau?” Nafsu menjawab “Engkau adalah Engkau, dan aku adalah aku.” Atas jawabannya yang bernada menantang itu, Nafsu dilempar ke dalam neraka Jahannam selama seratus tahun. Allah kemudian mengangkatnya dan menanyakan lagi pertanyaan yang sama. Namun Nafsu tetap menjawab “Engkau adalah Engkau, dan aku adalah aku.” Kemudian Allah melemparnya ke neraka yang berisi adzab rasa lapar selama seratus tahun tahun, barulah Nafsu menjawab “Engkau adalah Tuhanku, dan aku adalah hambamu.”
Kita sudah mafhum, setiap anak Adam yang terlahir, secara otomatis di-install beberapa “perangkat lunak” semacam Hati alias kalbu, Akal, Nafsu dan Hawa dalam dirinya. Jika dianalogikan dalam sistem politik-kekuasaan, Hati bertindak sebagai raja. Akal sebagai penasehat raja, Nafsu adalah kaum oposan garis keras, sedangkan Hawa merupakan kaum oposan pragmatis. Celakanya, secara ekstern masih ada lagi pengancam nyata kinerja raja bijak bestari bernama Hati. Dia adalah Iblis beserta keturunan serta bala tentaranya.
Secara alami, Hati –Qolbun— selalu bertindak sesuai garis wahyu. Dalam tataran tertentu ia bahkan menjadi “rumah persemayaman” Allah “dalam rangka” menyempurnakan kebahagiaan paripurna anak cucu Adam. Akan tetapi dalam perjalanannya sebagai kesatuan yang kelak disebut abdun atau hamba dalam bingkai diri manusia, kinerja Hati banyak menenui rintangan dari beberapa oposannya tersebut.
Sedangkan Akal sebagai penasehat Hati, sebenarnya adalah “sosok” nan bijak, kritis serta visioner. Namun karena Akal seringkali diam-diam berkoalisi dengan Hawa dan Nafsu, nasehat yang diberikan kepada Hati seringkali tidak sesuai dengan koridor wahyu.
Akal sebagai “kepala dewan pertimbangan” memutuskan berbagai hal sesuai dengan tuntutan wahyu, ilmu, ma’unah atau pertolongan, hidayah atau petunjuk bahkan seringkali Tuhan memberikan “bisikan”-Nya secara langsung (ilham). Namun pragmatisme Akal karena merasa memiliki kelebihan yang bernama kecerdasan dalam berbagai bentuknya, seringkali membuat ia pongah. Akal sering merasa superior karena ia telah bisa menggapai “cahaya” pengetahuan sehingga tanpa terasa menyalahi wahyu sebagaimana yang terjadi pada kaum atheis, materialis serta kaum liberal.
Tugas Hati dalam menyelamatkan seorang anak manusia makin berat, karena Akal yang seharusnya membantunya seringkali lebih mementingkan ego atau ananiyah. Apalagi, Nafsu dan Hawa tak henti-hentinya melakukan perlawanan. Seringkali mereka juga meminta bantuan Iblis untuk menggempur benteng kerajaan kecil itu. Kadang Hati mengalami “mati suri” karena gencarnya serbuan para oposannya. Hati bahkan bisa benar-benar mati jika terkontaminasi racun-racun mematikan semacam kufur, murtad, syirik. Bahkan “zat-zat arsenik” semacam riya’, sum’ah, ujub, ananiyah, hasad, takabbur secara tidak langsung membuat Hati seperti “mayat hidup.”
Sayangnya, jika Hati –sebagai raja dalam diri manusia—mengalami ketidakseimbangan fungsi apalagi rusak dan mati, maka semua perangkat keras dalam diri manusia menjadi tak terkendali. Jangankan unsur-unsur yang memiliki “kecerdasan politis” seperti Akal, Nafsu dan Hawa, semua anggota badan pun akan ikut mengalami disfungsi akut. Dalam kehidupan nyata, dapat dilihat bagaimana seorang anak manusia yang telah diangkat derajatnya sebagai ahsani taqwiiw bisa menjadi asfala safiliin, lebih hina dan lebih keji dari binatang buas. Dari sini bisa kita nalar bagaimana seorang anak manusia mampu melakukan pencurian uang negara trilyunan rupiah atau seseorang tak merasa risih melepas busana di depan kamera.
Bahaya laten yang tak kalah gawat bagi “kesehatan kalbu” adalah “makar” yang dilakukan oleh Hawa secara diam-diam. Hawa sendiri, adalah kaum oposan pasif-pragmatis yang sangat menyukai zona aman, mengagungkan pragmatisme serta memuja kenyamanan jangka panjang. Gerakan makar Hawa bisa terlihat dari bagaimana seorang pribadi begitu menyukai hal-hal instant, menumbalkan kambing hitam untuk menutupi kesalahan, lari dari tanggung jawab serta tak adanya empati demi kenyamanan pribadi.
Secara anatomis, efek kinerja Hawa bisa terlihat dari bagaimana seorang anak manusia memuja kenikamatan ragawi seperti menyantap makanan dan minuman lezat, beristirahat dan berpelesir di tempat mewah serta memuja kenikmatan syahwat farj atau alat kelamin. Hawa sebenarnya memiliki karakteristik yang hampir mirip dengan Nafsu, namun Hawa lebih memuja kenikmatan ragawi di seputar perut serta alat kelamin.
Kembali kepada Nafsu sebagai pemeran kunci dalam “perang besar” dalam diri manusia, ia adalah “sosok” paling berbahaya. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bahkan pernah memberi peringatan keras terhadap bahaya, kekejian serta muslihatnya. Selepas Perang Badar terjadi, para sahabat beliau beranggapan telah menyelesaikan suatu perang besar. Maka Nabi menyanggahnya dengan sebuah sabda “Kita baru saja pulang dari perang kecil untuk menghadapi perang besar (jihad kubro)”. Para sahabat lalu bertanya “apa itu perang besar ya Rasulallah?” Beliau menjawab “perang melawan Nafsu.”
Nafsu menjadi makin berbahaya karena ia tak segan berkoalisi dengan Hawa, Akal bahkan Iblis beserta pengikut dan keturunannya untuk menghancurkan manusia. Seperti yang telah kita baca di awal tulisan tadi, Nafsu secara alamiah memang memiliki karakteristik angkuh, merusak dan tanpa belas kasihan. Bahkan terhadap tubuh yang menjadi inangnya selama berada di alam dunia –seorang anak manusia.
Allah, para Nabi, para sahabat bahkan ulama-ulama salaf telah merumuskan strategi-strategi khusus untuk membendung atau mengalahkan muslihatnya. Dan dari sekian banyak formulasi tersebut, sesuai dengan tuntunan wahyu, kebanyakan senjata paling ampuh untuk menghadapi atau paling tidak menjinakkannya, adalah dengan dengan rasa lapar.
Puasa, adalah formulasi bocoran Tuhan untuk menundukkan musuh abadi internal anak manusia itu. Bahkan lapar yang secara anatomis berpangaruh pada peredaran darah manusia, bisa juga sekaligus digunakan untuk membatasi gerak Iblis dalam aliran darah anak manusia.
Dalam bukunya, Al Burdah, Imam Busyiri mengibaratkan Nafsu sebagai seorang bocah yang takkan berhenti menyusu hingga tua jika tidak segera dihentikan. Makanya beliau juga memberikan tips bagaimana cara terampuh untuk melemahkan “parasit ruhani” itu. Beliau menegaskan, “makanan dan rasa kenyang memperkuat gejolak Nafsu, maka lemahkan ia dengan rasa lapar.”
Syaikh Abdul Wahhab as Sya’rani juga memberikan bocoran senada untuk melemahkan Nafsu agar tabiatnya sebagai perusak tidak semakin menjadi. Beliau menegaskan “perangilah Nafsumu dengan rasa lapar. Yakni dengan mengurangi makan secara bertahap. Lapar juga bisa melemahkan anggota tubuh yang terdiri dari unsur tanah dan air, dan hati pun menjadi bersih karenanya.”
Syaikh Abul Hasan Al Azzaz menambahkan “cara agar wushul—sampai—kepada makrifat ada tiga perkara. Makan ketika lapar, tidur ketika benar-benar mengantuk dan tidak berbicara kecuali terpaksa.”
Bagi kita kaum Muslimin yang telah dikarunia Allah untuk menjalankan puasa di bulan penggemblengan Nafsu ini, meski sudah kita laksanakan puasa dalam rangka menggempur Nafsu, ternyata tidak serta merta kita bisa bergembira karena telah memenjarakannya seharian. Sebab Imam Ghazali dalam bukunya Bidaayatul Hidayah pernah me-warning “jika engkau makan pada malam hari –berbuka—sebagai pembalasan, maka tidak ada faedah sama sekali puasamu di siang hari.”
Demikianlah sekelumit manfaat puasa yang bisa kita ulas dalam tulisan kecil ini. Ada ribuan hikmah dari lelaku puasa dengan senjata utamanya yang bernama lapar, namun point kecil ini kiranya menjadi bocoran untuk menundukkan Nafsu yang telah lama merajalela di dada kita masing-masing.
*Penulis adalah Pengurus LTN NU Kab. Pasuruan, Youtuber & Ahli Terapi Refleksi
Daftar Pustaka : Al Burdah (Imam Busyiri), Bidayatul Hidayah (Imam Ghazali), Minahus Saaniyah ( Syaikh Abdul Wahhab as Sya’rani), Dzurratun Nasihin, Misykatul Anwar