Efisiensi Anggaran Demit

171

Selama ini kan, uang rakyat seakan uang pesugihan yang begitu melimpah dan boleh dihambur-hamburkan sak enak e dewe. Yang namanya program siluman, lembaga-lembaga demit dan proyek-proyek memedi, jumlah dan bentuknya sampai tak terdeteksi.

Oleh : Abdur Rozaq

Seperti yang sudah dikatakan Mahmud Wicaksono, warung kopi memang merupakan salah satu tempat sakral di muka bumi. Orang-orang yang katanya wakil rakyat, punya kantor dewan. Lha orang-orang kecil, terpinggirkan dan pemeran tambal butuh politis dan peradaban seperti Cak Manap dan kawan-kawannya, punya warung kopi untuk menyalurkan uneg-uneg mereka. Ya memang, pitenah eh aspirasi mereka hanya menguap di warung reyot itu. Tapi setidaknya mereka bersuara. Mau bersuara di media sosial ya sudah tidak murni lagi karena penggiringan opini alias framming juga sudah menjadi komoditas yang bisa ditukar dengan beras. Apalagi, kemampuan mereka masih saja sebatas rasan-rasan di warung kopi, meski konon zaman sudah full demokrasi dan siapa pun bebas meracau sesuai kepentingan masing-masing.

Kali ini, debat kusir efisiensi anggaran menjadi topik hangat di warung kopi yang kapan hari rusak diterjang banjir itu.

“Kalau saya, sangat setuju dengan gerakan efisiensi anggaran yang ditetapkan pak presiden,” kata Mahmud Wicaksono. “Selama ini kan, uang rakyat seakan uang pesugihan yang begitu melimpah dan boleh dihambur-hamburkan sak enak e dewe. Yang namanya program siluman, lembaga-lembaga demit dan proyek-proyek memedi, jumlah dan bentuknya sampai tak terdeteksi. Orang bisa seenaknya bikin anggaran ngelencer dinas, studi banding-studi bandingan, reses-resesan, pengadaan kendaraan dinas, renovasi gedung yang masih megah, pengadaan inventaris siluman, dengan anggaran yang tak masuk akal waras,” racau Mahmud Wicaksono menirukan gaya ketua LSM saat berorasi di depan kamera wartawan lokal kapan hari.

“Selama ini kan, uang rakyat seakan uang pesugihan yang begitu melimpah dan boleh dihambur-hamburkan sak enak e dewe. Yang namanya program siluman, lembaga-lembaga demit dan proyek-proyek memedi, jumlah dan bentuknya sampai tak terdeteksi. Orang bisa seenaknya bikin anggaran ngelencer dinas, studi banding-studi bandingan, reses-resesan, pengadaan kendaraan dinas, renovasi gedung yang masih megah, pengadaan inventaris siluman, dengan anggaran yang tak masuk akal waras,” racau Mahmud Wicaksono menirukan gaya ketua LSM saat berorasi di depan kamera wartawan lokal kapan hari.

“Saya beberapa kali ngamen diajak kawan-kawan, ikut pelatihan ini-itu, pelatihannya hanya formalitas agar bisa difoto buat laporan. Awalnya saya serius, barangkali dapat sedikit ilmu saat pelatihan. Tapi karena narasumbernya menyampaikan materi dengan kejar tayang, para pesertanya sibuk main HP masing-masing, akhirnya saya tahu pelatihan-pelatihan itu hanya dibutuhkan foto kegiatannya sebagi laporan. Atau paling tidak, agar lembaga yang mengadakan terlihat ada program.”

“Belum lagi fasilitas dan tunjangan yang diterima oleh para kasta ksatria, kadang saya kepikiran untuk membacok orang. Lha kok tega menyusun anggaran sengawur itu. Sudah ada gaji pokok, tunjangan kesehatan, tunjangan lauk pauk, anak istri yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pengabdian kepada negara, juga mendapat tunjangan. Kenapa tidak sekalian tunjangan buat hewan peliharaan atau khoddam jin mereka sekalian? Nanti kalau sudah pensiun, masih membebani negara, bahkan ketika namanya diumumkan di masjid sebagai almarhum, masih diberi tunjangan. Padahal pengabdiannya belum maksimal. Sering nongkrong di warung, swalayan, arena sabung ayam, hotel melati atau di warung karaoke saat jam kerja.” Mahmud Wicaksono benar-benar ngamuk saat bicara begitu. Pasti, sudah pasti ia iri, karena tukang cukur sepi pelanggan sepertinya hanya membayar berbagai pajak tapi pengelola pajak belum melayaninya sepenuh hati.

“Pendapat sampeyan itu hanya dipek gede-gedene tok, Mas Mahmud,” ujar Mas Bambang PNS. “Program efiensi anggaran kali ini benar-benar ketat dan medit. Konon sih, beberapa anggaran yang sebenarnya masih sangat urgen juga ikut dicabut. Konon juga, banyak honorer yang dirumahkan, padahal sudah belasan bahkan puluhan tahun mengidam-ngidamkan SK dan NIP.”

“Sangat bagus itu, Mas. Dengan demikian, kawan-kawan honorer akan lebih cepat merubah nasib dengan membuka usaha wiraswasta, misalnya. Lagi pula kalau semua orang ingin jadi priyayi atau menduduki kasta kstaria, lantas siapa yang macul dan tandur, memulai UMKM dan keluar dari zona nyaman yang sebenarnya masih menjadi angan-angan? Apalagi kalau tidak punya orang dalam atau dekengan pusat.”

“Apalagi…” sambung Mahmud Wicaksono. “Konon anggaran untuk pengadaan infrastruktur juga diperketat. Itu artinya, ada niat baik untuk menghalangi akal-akalan membongkar infrastruktur yang masih bagus dan layak untuk dibangun lagi demi uang cipratan tender, upeti atau mark up anggaran.” Miris, nekat benar Mahmud Wicaksono menuduh begitu tanpa bukti, atau buktinya sudah dihilangkan.

“Kita kaum jelata sudah lama melakukan gerakan efisiensi anggaran kebutuhan hidup paling pokok, Mas Bambang. Rokok sudah membeli yang paling murah, beras sudah beli yang kualitas pokok wareg, pakaian beli yang murah, rumah kita bangun minimalis, bahkan ngampung di perumahan mertua indah atau menjadi kontraktor, pindah kontrakan setahun sekali. Melihat betapa kayanya negara ini dibandingkan dengan taraf hidup para jelata seperti saya, kadang kudu mbacok wong, mas. Sementara itu, ada sebagian (besar) orang memaling uang negara triliunan.”

“Heran! Heran saya. Kenapa bangsa seluhur kita, seagamis dan sedermawan kita kok sama rakyat tego patine gak tego larane?”

“Makanya, sekarang ramai tagar pindah kewarganegaraan karena di sini rakyat masih diopeni dengan main-main,” celetuk Agus, si mahasiswa abadi.

*Penulis adalah cerpenis, youtuber dan ahli terapi refleksi

**tulisan hanya fiksi semata, kesamaan nama dan peristiwa hanya kebetulan semata.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.