Arya Kamandanu Ngopi di Warung Cak Sueb

64

Tanpa diminta, orang yang mengaku Arya Kamandanu itu menarik pedangnya. Nampak sebilah pedang panjang terbuat dari wesi aji berwarna hitam kebiruan. Di tengah bilah pedang itu nampak ukiran ular naga berwarna emas. Setelah seluruh bilah pedang keluar dari sarungnya, sebuah sinar kebiruan menyala menyelubungi bilah pedang.

Oleh: Abdur Rozaq, S.Pd.I

Ketika asyik menyeruput kopi traktiran di warung Cak Sueb, Mahmud Wicaksono tercekat beberapa saat. Pasalnya, seorang lelaki berpakaian pendekar turun dari punggung kuda, lalu menyapa mereka semua.

“Sampurasun,..” kata lelaki gagah berkulit sawo matang itu kepada semua orang. Gus Karimun yang mengetahui banyak bahasa, langsung menjawab salam lelaki tampan berwajah khas Jawa itu. “Rampes,” jawab Gus Karimun.

“Permisi, boleh saya numpang beristirahat di kedai ini?” Tanya si lelaki berpakaian pendekar. Beberapa orang kemudian bisik-bisik khas kebiasaan orang kita. Ada yang cekikikan, karena bulan Agustus masih lama, kok sudah ada orang menggunakan kostum karnaval, lengkap dengan kuda, udeng, pelat bahu dan pedang yang diselipkan pada sabuk kulit di belakang punggungnya.

“Silahkan mampir dan sekalian memesan minuman atau makanan di sini,” ujar Gus Karimun mempersilahkan. Kiai muda itu menatap tajam ke arah si pendekar, seakan beliau kenal dengannya.

“Ki Sanak siapa, dan dari mana berasal,” tanya Gus Karimun ramah.

“Oh iya, saya Arya Kamandanu, putra Mpu Hanggareksa dari desa Kurawan. Saya sedang mengemban tugas dari Sang Prabu, untuk memastikan wilayah Majapahit aman,” jawab sang pendekar dengan mimik serius.

Beberapa orang menahan tawa ngakaknya. Kok ada orang gila yang penghayatannya total begini? Di bilang bikin konten, tak ada kru yang memegang kamera? Di bilang tak waras, kok ya aktingnya meyakinkan betul. Tapi mereka tak berani terang-terangan menertawakan karena wibawa pendekar itu memang menggetarkan.

“Saya Karimun,…” kata Gus Karimun memperkenalkan diri. “Dan apa benar Ki Sanak Arya Kamandanu yang terkenal itu?” ujar Gus Karimun memastikan.

“Ya benar. Saya memang Arya Kamandanu, murid Mpu Ranu Baya, adik Arya Dwi Pangga.”. Tanpa diminta, orang yang mengaku Arya Kamandanu itu menarik pedangnya. Nampak sebilah pedang panjang terbuat dari wesi aji berwarna hitam kebiruan. Di tengah bilah pedang itu nampak ukiran ular naga berwarna emas. Setelah seluruh bilah pedang keluar dari sarungnya, sebuah sinar kebiruan menyala menyelubungi bilah pedang.

“Pedang Naga Puspa?” seloroh Gus Karimun tak percaya. Kiai muda yang tak mudah heran itu benar-benar melongo keheranan. Beliau yang sangat paham dengan ilmu pusaka dan wesi aji, nampak gemetar menatap sang pendekar yang sedang menghunus pedang Naga Puspa.

Gus Karimun buru-buru turun dari turun dari lincak, lalu mengapitkan kedua tangannya tanda sembah sungkem kepada orang yang mengaku Arya Kamandanu itu. “Ampun Tuan Arya Kamandanu, ampun jika kami lancang kepada tuan,” ujar Gus Karimun. Karena Gus Karimun sudah bersikap demikian, semua orang kemudian ikut-ikutan.

“Tidak masalah. Ayo, semua kembali duduk di lincak seperti semula,” ujar orang yang oleh Gus Karimun diyakini Arya Kamandanu itu.

“Ayo semuanya beri hormat. Beliau adalah Mbah Arya Kamandanu, leluhur kita orang Pasuruan. Beliau adalah pahlawan Majapahit dari Pasuruhan satu.”

Mahmud Wicaksono yang selalu nekad, maju mundur ingin bertanya. Dengan keringat dingin, ia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

“Ampun tuan Arya Kamandanu, bukankah anda hanya tokoh fiksi,….?”

“Tidak, aku memang benar-benar ada.”

Semua orang tiba-tiba merasa pakewuh. Bahkan Gus Karimun pun, hanya berbicara sekedarnya saja ketika Arya Kamandanu mengajaknya bercengkrama.

“Saat ini sudah tahun berapa?” tanya Arya Kamandanu kepada semua pelanggan warung.

“Sekarang sudah tahun 2025, tuan,” jawab Mahmud Wicaksono ingin mengakrabkan diri. Tidak seperti pejabat sekarang, punggawa Majapahit ini memang membuat segan bahkan orang-orang yang tidak sedang diajak bicara. Kalau pejabat sekarang kan, orang hanya ngapurancang hanya ketika berhadapan. Di belakangnya, rasanya ingin nunjek kepalanya saja.

“Sudah ratusan tahun, kenapa keadaan masih belum berubah? Kenapa jalanan masih becek, hanya diurug pakai batu? Sudah ratusan tahun, keaadaan belum banyak berubah seakan Majapahit baru berdiri. Hutan sudah habis, tapi kenapa jalanan masih penuh lumpur sisa banjir?” Semua orang tak berani menjawab.

“Beberapa kali saya juga dihadang begal, apa kalian tidak punya prajurit yang melindungi rakyat?” semua orang terdiam.

“Keterlaluan. Ratusan tahun, bangsa ini malah mundur. Banjir di mana-mana, begal berkeliaran, hutan sudah gundul, tapi kalian tetap tak punya apa-apa. Anak-anak muda berkeliaran naik kuda besi, mengendara tak tahu aturan. Beberapa kali aku melihat mereka membacok orang tanpa alasan.”

“Memangnya siapa raja kalian saat ini?”

“Peminpin kami bukan raja, tuan. Saat ini kami dipimpin oleh presiden, gubernur, camat dan kepala desa. Kami memilihnya secara langsung.”

“Hmmm, jika kalian memilih pemimpin secara langsung masih seperti ini, berarti ada yang tidak beres dengan kalian. Apa kalian memakan uang sogok saat memilih mereka?”

“Ya tuan,” jawab Mahmud Wicaksono dengan polos, eh bodoh.

“Saat Majapahit masih berdiri dulu, bangsa ini begitu disegani. Kita bahkan menjadi negara adidaya. Jalanan memang setapak, tapi tidak becek karena pemerintah mengurugnya dengan batu. Para begal dan bromocorah ketakutan, dan banjir jarang terjadi karena hutan terjaga dan sungai tak dipenuhi sampah.”

“Ampun tuan Arya Kamandanu, saat ini memang sudah terlalu padat penduduk, jadi masalah lingkungan sulit diurus,” sanggah Mahmud Wicaksono.

“Aku sudah berkunjung ke Tumasik (Singapura), di sana semuanya tertata, bersih, jalanan bagus dan tak ada banjir. Aku juga sudah berkunjung ke Champa (Vietnam), di sana begal tak separah di sini,” sanggah Arya Kamandanu.

“Aku peringatkan kalian. Jika perilaku kalian masih terus begini, akan aku laporkan kepada Tuan Gajah Mada. Kalian tahu kalau tuan Gajah Mada marah? Dan sampaikan kepada pemimpin kalian, jika tetap tidak becus, aku akan membuat perhitungan dengan mereka.”

Entah kenapa, Arya Kamandanu lama-lama begitu kasar kata-katanya. Entah karena semua orang tak begitu menggubris peringatannya, Arya Kamandanu kemudian mencabut pedang Naga Puspa dan mengayunkannya ke kepala Mahmud Wicaksono. Aneh, kepada Mahmud Wicaksono hanya terasa pusing oleh sabetan pedang sakti itu. Setelah ia buka mata, ternyata istrinya yang memukul kepada Mahmud Wicaksono dengan gagang sapu. Pantas saja tadi omelan Arya Kamandanu begitu pedas, ternyata itu omelan istrinya yang marah karena Mahmud Wicaksono masih tidur padahal sudah jam delapan pagi. Seharusnya sejak tadi ia membuka lapak cukur rambutnya.

*Penulis adalah cerpenis, youtuber dan ahli terapi refleksi.

**Hanya fiksi semata, kesamaan nama tempat dan tokoh hanya kebetulan

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.